Cerpen: Jujur Prananto
Sumber: WWW.MONOTON.CO.CC
MENEMUKAN sebatang lipstik di laci meja, mestinya merupakan kejadian biasa-biasa saja. Apalagi meja itu ada di kamar seorang gadis remaja cantik berusia enam-belas tahun. Makin tak ada yang pantas dianggap istimewa. Tapi tidak demikian bagi Yustin. Waktu ia kehilangan gunting kuku dan mencari-carinya di segala penjuru rumah, sampai akhirnya membuka laci meja kamar anaknya dan secara kebetulan menemukan lipstik di situ, Yustin merasakan desir tajam mengusik perasaannya. Sebuah desir yang nyaris sama dirasakannya empat tahun lalu ketika suatu siang Meta pulang sekolah sebelum waktunya, saat anak itu masih kelas enam sekolah dasar. Dengan nafas terengah-engah, mata sembab dan isak tertahan, Meta lari kencang memasuki halaman rumah, dan menghambur ke dalam sambil berteriak-teriak memanggil."Bunda! Bunda! Perutku luka!"Yustin terperanjat dan dengan penuh kepanikan bergegas membuka baju anaknya, tapi tak dijumpainya setitik pun luka. "Bukan di situ, bunda. Tapi luka dalam. Ada darah keluar membasahi celanaku!"Saat itu Yustin menghembuskan nafas lega, dan menjelaskan pada Meta bahwa anaknya itu mengalami haid untuk yang pertama. Namun, pada saat yang sama Yustin merasakan pula desir tajam yang merisaukan perasaannya. Dan kerisauan ini kian menjadi-jadi sejalan dengan terus berjalannya waktu, justru karena Meta tumbuh begitu pesat menjadi gadis remaja, jauh mendahului kawan-kawan seusianya. Di antara wajah-wajah kekanak-kanakan dan badan-badan mungil siswi kelas satu SMP, Meta tampil amat menonjol oleh tubuhnya yang begitu semampai, anggun dan mempesona. Sementara teman-teman wanita sekelasnya masih berkaus singlet untuk menutupi dadanya yang baru mulai tumbuh, Meta sudah harus mengenakan beha layaknya wanita dewasa. Sementara yang lain masih menebar "bau matahari" saat berpanas-panas berjalan kaki pulang sekolah, Meta sudah menebar wangi tubuh yang bisa menggetarkan birahi lelaki.Bagi Yustin, hari demi hari berlalu tanpa pernah sama-sekali terbebas dari rasa cemas. Bayangan-bayangan buruk senantiasa melintas di benaknya meski cuma sekilas, justru karena ia tahu persis, betapa sejenis malapetaka bisa setiap saat menerpa anaknya. Untuk sementara, bayangan-bayangan buruk itu memang tinggal bayangan. Sebab nyatanya, dalam kematangan tubuhnya Meta tetap tampil sebagai gadis lugu berwajah polos. Yang bisa tertawa dan menangis sebagaimana layaknya remaja seusianya. Sampai ia lulus SMP. Sampai ia masuk SMU. Sampai ia berusia enam-belas tahun. Sampai ibunya menemukan sebatang lipstik di laci meja di kamarnya. Ialah sebuah benda yang sang bunda tak pernah membelikan untuknya. Yang berarti untuk pertama kali ia mempunyai inisiatif sendiri untuk memiliki sesuatu di luar segala macam kebutuhan pribadi yang selama ini selalu disediakan atau dipilihkan oleh bundanya: baju - yang tak pernah berlengan pendek, rok - yang panjangnya selalu di bawah lutut, sepatu, pakaian dalam, bedak, shampo....... Dan lipstik tak pernah ada daftar itu!DARIMANA kau dapatkan lipstik ini, Meta?""Aku beli sendiri, bunda.""Kenapa? Untuk apa?""Kenapa bunda tanya begitu?"Giliran Yustin terdiam. Ditatapnya anaknya dari mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dirangkulnya. "Bunda mau bicara sebentar.""Tapi Meta sudah mau berangkat sekolah.""Sepagi ini? Bukankah kau masuk jam setengah satu siang?""Rosanti sakit. Ia tak bisa datang menjemput. Aku harus berangkat naik bis kota.""Biar bunda nanti antar kau naik taksi.""Tak usah, bunda. Ongkos taksi ke sekolah tak kurang dari tigapuluh ribu.""Omongan bunda kali ini akan jauh lebih berharga dibanding uang tigapuluh juta sekali pun."Meta terdiam. Ia tak kuasa menolak saat ibunya membimbingnya masuk kamar. Dan membawanya menghadap cermin besar yang menempel di pintu almari. Hingga nampaklah di sana dua wajah wanita cantik yang berbeda usia dan gaya. Yang satu begitu remaja dengan tata-rambut yang mencitrakan kemasa-kinian yang begitu dinamis, satu lagi adalah wajah penuh kematangan dan tempaan pengalaman hidup, yang sebagian rapat terlindung di balik kerudung berbordir putih bersih. "Perhatikan bibirmu secara saksama, Meta.""Bibir saya kenapa, bunda?""Kaulihat kulitnya yang cokelat tua kemerahan? Kaulihat bentuk tepiannya yang melengkung indah itu? Lalu coba sentuh dengan tanganmu. Bisa kaurasakan kelembutan kulitnya? Bisa kaurasakan kekenyalan daging di dalamnya?""Lalu kenapa, bunda?""Kau dikaruniai bibir yang sangat indah, Meta. Sedemiki-an indah hingga kau tak perlu menambah apa pun untuk memperindahnya.""Tapi...""Kau pasti ingin mengatakan bahwa memperindah yang sudah indah itu bukan tindakan yang salah."Meta mengiyakan dengan cara terdiam."Mungkin kau benar. Tapi sekarang cobalah buka pakaianmu.""Apa, bunda...??""Jangan bertanya dulu buat apa. Buka saja dulu pakaianmu. Semuanya."Dengan perasaan berdebar dan bertanya-tanya Meta membuka seluruh pakaiannya. Yustin pun mengamatinya tanpa berkedip. Lalu menghela nafas panjang serta menggu-mamkan nama Tuhan. "Kenapa, bunda?""Mestinya kau patut bersyukur atas karunia keindahan ini...""Kenapa 'mestinya' ?""Karena keindahan ini sekaligus bisa jadi beban berat buat kamu.""Meta tak tahu apa maksud bunda.""Kau pasti pernah merasakan, atau sering merasakan, atau senantiasa merasakan, betapa setiap pria yang kaujumpai akan menyempatkan diri untuk-paling tidak-sekedar memandangmu. Lewat pandangan itu dia bisa mengagumimu, memujimu, atau lebih dari itu : berhasrat ingin menyayangimu, menyentuhmu, membelaimu, memelukmu...atau...""Jangan berpikir sejauh itu, bunda!""Bunda tidak berpikir terlalu jauh, Meta. Ini bisa begitu saja terjadi atas diri kamu. Kapan pun." "Lalu menurut bunda aku harus bagaimana?"Yustin terdiam beberapa saat. Dipeluknya anaknya erat-erat sambil matanya tetap memandang ke cermin. Mengamati anaknya sekaligus dirinya. Membandingkan dua wajah cantik itu dengan berbagai macam perasaan. Dengan berbagai kecemasan."Waktu kecil bunda pernah punya tetangga bernama Amsar. Badannya besar dan kekar. Penampilan fisiknya ini membuat orang-orang jadi takut padanya, hingga yang pada mulanya ia hidup biasa-biasa saja sebagai layaknya pemuda desa, oleh sikap orang-orang di sekitarnya ini ia justru berubah, setelah ia berangsur-angsur sadar dirinya ditakuti orang. Lama-lama ia mulai menikmati rasa takut orang-orang ini. Dan ini membuatnya jumawa." "Lalu......maksud bunda?""Kau pasti tahu maksudku, Meta.""Bunda khawatir....aku dimanjakan oleh kecantikanku sendiri?"Yustin makin erat memeluk anaknya. Matanya terpejam. Pipinya membasah. "Kenapa bunda menangis?""Bunda cuma khawatir, nak. Bunda cuma khawatir...."MEMANG cuma sejauh itu yang bisa terucap dari mulut Yustin. Tak mungkin ia menjelaskan kenapa kekhawatiran itu senantiasa muncul dalam dirinya. Tak mungkin ia bercerita, bahwa saat melihat tubuh telanjang anaknya, ia melihat sosok dirinya duapuluh lima tahun yang lalu: Yustin yang cantik, yang setiap hari mendengar decak kagum, siutan panjang, panggilan mesra, pujian, serta rayuan dari para pria yang berlomba-lomba mendapatkannya. Dan Yustina tak kuat bertahan, sebab segala rupa sanjungan itu lama-lama sangat dinikmatinya. Sangat disadarinya memiliki kekuatan luar-biasa yang tidak selalu dimiliki oleh wanita lain. Ialah kekuatan untuk mendapatkan sesuatu dengan cara sangat gampang. Sampai suatu saat seorang lelaki berucap padanya, "Wanita secantik kamu tak perlu bekerja. Tinggalah di rumah yang kau boleh pilih sendiri yang kau suka. Bepergianlah ke mana pun ingin kautuju, dengan mobil yang boleh kau pilih sesukamu pula. Berbelanjalah apa pun yang ingin kau miliki, dan gunakanlah kartu debet atas-namamu yang tak perlu kau pikirkan pengisian dananya. Yang penting kau senantiasa ada di rumah untuk menyambutku setiap aku datang ke rumahmu."Dan Yustin tak kuat untuk menolak."Cuma ada satu syarat yang harus kau taati : Jangan ganggu istri dan anak-anakku."Dan Yustin tak kuasa untuk menggugat.Juga ketika lelaki itu sekian tahun kemudian menghilang tanpa kabar. Ketika tiba-tiba kartu debetnya ditolak kasir. Ketika tiba-tiba datang sekelompok orang yang mengaku rumah tempat-tinggalnya sebagai milik mereka. Ketika tiba-tiba ia sadar bahwa bayi dalam kandungannya kelak secara hukum tak akan pernah berayah. Dan Yustin tak mungkin bercerita, bahwa bayi itu kelak diberinya nama Meta.META sesaat mengamati lipstik yang ditemukan ibunya dan menghela nafas panjang. "Kenapa aku begitu ceroboh menaruhnya di sini?" pikirnya. Ia pun buru-buru membuka almari, mengambil sebuah tas yang tersimpan di bawah tumpukan baju, dan memasukkan lipstik itu ke dalamnya, menyatukannya dengan kelengkapan rias berikut asesori lainnya: lipgloss, eyeshadow, eyeliner, blush-on, maskara, giwang, anting, kalung, gelang, stiker tattoo dan pernik-pernik lainnya. Lalu Meta cepat-cepat memasukkan tas kulit itu ke dalam ransel berbahan parasit yang biasa dipakainya ke sekolah. Ketukan pintu membuatnya kaget. "Ya, bunda?""Sudah siap kau berangkat?"Wajah Meta seketika menegang. "Tapi bunda tidak jadi mengantarku ke sekolah naik taksi, kan?""Kenapa? Hilang limapuluh ribu pun kali ini bunda tak merasa rugi."Sekonyong-konyong terdengar suara getar di permukaan meja kaca. Meta bergegas mengambil handphone yang tersembunyi di balik tumpukan bukunya. Ada nama seorang pria tertayang di layar. Dengan tangan gemetar Meta memencet tombol terima, dan bicara dengan suara selirih-lirihnya. "Halo...?""Meta??? Kamu di mana sih dari tadi aku nelpon nggak diangkat-angkat? Tadi hampir sejam aku tunggu di lobby kamunya nggak datang-datang. Sekarang aku sudah di kamar. Kamar 501. Kalau nanti kamu datang aku pas keluar, minta aja kunci ke resepsionis. Entar aku bilang ke resepsionis kalau kamu mau datang. Oke, ya?" "Sebentar, oom...!"Tapi telepon di seberang sana sudah terputus. Dan yang terdengar kemudian ialah suara ibunya yang nampaknya berdiri persis di depan pintu di luar kamar. "Kau bicara sama siapa, Meta?"
No comments:
Post a Comment