Cerpen: Martin Aleida
Sumber: Kompas, Edisi 05/05/2002
PARA pelayan sudah membenahi meja dan kursi yang kosong. Tinggal meja kami yang masih bertahan. Kami, yang menjadi kelompok pelanggan terakhir ini, memperoleh semacam kehormatan tersendiri dari pemilik kafe. Kami dibiarkan nongkrong sampai kantuk dan dinginnya angin malam menyudahi pembicaraan yang bercampur-baur antara serius dan guyon tentang sastra, seni lukis, teater, filsafat, politik, atau agama atau desas-desus yang jalang. Yang menemani di depan kami terkadang cuma kopi atau wedang jahe untuk melawan kantuk menjelang dini hari. Sudah agak lama juga aku bergaul dengan teman-teman, tetapi belum juga bisa beradaptasi secara tuntas dengan gaya bohemian mereka. Rumah selalu lebih menggelitik mengajak pulang. Menjelang pukul sepuluh, aku bangkit dari tempat duduk, dan pamit. Namun, ketika berdiri di depan counter hendak membayar, tiba-tiba bahuku dirangkul dengan hangat. "Bung, tak jadi di lobi United Nations. Lukisan saya akan digelar di United Nations Plaza, di seberang markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York juga," kata pelukis kita mengoreksi berita yang didengungkannya kepadaku kemarin malam. Sengaja dia meninggalkan teman-teman di meja hanya untuk membisikkan kabar itu kepadaku. Aku tertanya-tanya, mengapa dia tidak menceritakan rencana yang jadi idam-idaman banyak seniman itu ketika kami masih utuh di meja yang menjadi gelanggang pertemuan kami tadi. Mengapa dia katakan hanya kepadaku seorang? Berbaik sangka, kupikir aku memperoleh kehormatan dari dia, dan kataku, "Bagus, tidak kalah bergengsi dari tempat yang pertama. Kalau publik yang diharapkan datang termasuk para duta besar, tempat itu kan hanya selangkah dari gerbang markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya kira teman-teman juga akan sangat senang dengan berita ini. Seingat saya, belum ada pelukis Indonesia yang berpameran di situ. Selamat...." Dia belum juga melepaskan rangkulannya dari pundakku. "Sekali lagi, ini hanya untuk Bung. Jangan ceritakan kepada yang lain," pintanya. Dan dia ngeloyor ke luar, bergabung kembali dengan teman-teman, bersama-sama menghadapi satu-satunya meja yang masih tersisa di pelataran kafe. Kalau itu pertanda hormatnya kepadaku, maka itu bukanlah penghormatan terakhir yang aku peroleh dari sang pelukis. Dan menjadi tanda-tanya besar bagiku, mengapa dia selalu menyampaikan berita eksklusif tentang rencana pamerannya selalu persis pada saat aku sudah berdiri di depan counter. Pernah sekali, tanpa sepengetahuannya, aku membayar pesanannya. Ternyata aku salah sangka. Keesokan harinya uangku kontan dia kembalikan. Dan dia tak pernah merasa sungkan bahwa setiap kali aku hendak membayar dia selalu datang dengan nama tempat atau kota-kota metropolis yang baru, di mana katanya, dia akan berpameran. Setelah United Nations Plaza tempo hari, kemudian dia bisikkan ke kupingku bahwa dia akan tampil di Museum of Modern Art, lantas di Guggenheim Museum, di New York juga. Tak jadi di sana, katanya pada malam berikutnya, National Meseum of Modern Art di Washington DC. siap menyambut kedatangannya. Seraya melirik aku mengeluarkan uang receh untuk membayar teh manis dan kerupuk, dengan tangan terus bergelantungan di bahuku, katanya dia akan segera bertolak untuk memajang lukisan-lukisannya di Paris. Beberapa hari kemudian, di depan counter, katanya dia tak jadi ke ibu kota Prancis itu, tapi akan terbang ke Praha. Kemudian, tak jadi ke sana, tujuan yang benar adalah London, lantas Stockholm, menyusul Pretoria, berikut lagi Kairo dan sesudah itu Tokyo. Kota-kota itu tiap malam mendapat giliran masuk dan keluar dari kupingku. Sebagai seorang pelukis perasaannya tentulah amat peka. Dan aku tak pernah menunjukkan rasa kesal karena merasa dipermainkan oleh rencana besar yang tak pernah kesampaian. Untuk setiap bisikan selalu kusambut dengan kegairahan yang tak pernah luntur sedikit pun. "Selamat, saya bahagia mendengar rencana Anda ini, mudah-mudahan yang ini berhasil. Kalau sudah sampai di sana tulislah surat kepada kami," itulah kata-kata terakhir yang saya ucapkan kepadanya setelah mendengar rencana keberangkatannya ke kota tujuannya paling akhir, dan mudah-mudahan menjadi kenyataan: Moskwa. Ganti aku yang merapatkan mulut ke dekat kupingnya dan kutambahkan lagi dengan berkelakar, "Kuatkan hatimu. Hati-hati, walaupun Uni Soviet sudah rubuh, di kota itu masih banyak propagandis merah." Setelah itu dia benar-benar menghilang. Kalau kafe itu dari jauh bisa dibayangkan sebagai lukisan, maka satu goresan sudah lenyap dari sana. Meja khusus di pelataran itu tidak pernah menyaksikannya lagi. Sampai pada suatu malam teman-teman disentakkan oleh kabar yang disampaikan pemilik kafe bahwa pelukis kita, katanya, telah terbang ke Jerman, mengikuti pameran lukisan di sana. Dia tidak meninggalkan utang barang sepeser pun. Semua bon sudah dia lunasi. Aku diam saja, menyembunyikan perasaan yang sedang terkecoh. Hamburg buatnya tentu lebih baik daripada Moskwa, bisikku membujuk hati sendiri. ***MEJA di pojok kafe yang diteduhi pohon angsana itu tetaplah tempat yang menggairahkan, hidup dengan pembicaraan yang ngalor-ngidul dan tawa berderai. Terkadang ditingkahi harmonika genggam yang dimainkan dengan lincah oleh seorang teman pengarang yang berbakat besar dan berketerampilan majemuk. Membuat meja di pojok khusus itu menjadi semacam suar yang punya daya tarik khusus bagi pengunjung yang lain. Pada suatu malam seorang teman yang sudah agak lama tak muncul di meja itu datang dengan berita yang mengagetkan. Katanya, dia melihat sang pelukis dan anak-istrinya terdampar di pos komando penyelamatan banjir, tak jauh dari rumahnya. Kabar buruk itu membuat orang saling berpandangan di sekeliling meja kafe. Ada yang mengira si-pembawa berita hanya mau bercanda. Tetapi, dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan. Demi Tuhan, katanya, dia menyaksikan si-pelukis jongkok kedinginan di antara ratusan pengungsi yang ditampung di satu aula gedung sekolah. Katanya, dia enggan untuk menghampiri, karena tak mau membuat penderitaan si-pelukis lebih parah lagi. Tak sampai hati memergoki dia berbohong dengan cerita mau berangkat ke Jerman, tetapi ternyata ngendon di pos penampungan korban banjir. Kami tak percaya. Apalagi si-pembawa berita sudah terkenal sebagai tukang bual, yang acapkali membawa kabar yang mengecoh hanya untuk membangkitkan tawa. Ceritanya selalu merupakan campuran antara khalayan dan fakta. Tetapi, karena dia bersumpah bahwa dia tidak mungkin main-main dengan nasib si-pelukis, akhirnya kami putuskan mengirim seseorang untuk mengecek kebenaran berita tersebut. Keesokan harinya, utusan itu sudah duduk menghadapi meja sejak matahari belum terbenam. Di kalangan teman-teman dia dikenal sebagai orang yang hampir tak mengenal canda, selalu serius, jidat selalu berkerut. Ketika meja sudah penuh terisi, dengan wajah mutung dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke daun meja. Katanya meyakinkan, "Jangan suka guyon dengan dunia ini. Mata kepala saya sendiri melihat dia terbaring di atas tikar. Lama saya menunggu sampai dia bangun untuk meyakinkan mata saya bahwa yang sedang tergolek itu memang benar-benar pelukis kita. Ya, kenyataan adalah kebenaran yang pahit. Tetapi, apa mau dikata, memang dia..." Gesekan angin pada daun-daun angsana di ubun-ubun kafe itu membuat perasaan mereka yang duduk mengelilingi meja khusus itu jadi seperti tertindih. Ibarat lukisan, malam ini meja itu adalah kanvas yang didominasi warna kelabu. Semua mutung. Semua murung. Dicapai kata sepakat, besok siang semua supaya kumpul kembali di kafe untuk kemudian berangkat menjenguk pelukis kita. ***DARI udara, sebulan yang lalu, Jakarta kelihatan bagai lukisan tiada berpigura, dengan cat coklat keunguan meraup di mana-mana. Tak pernah dalam sejarah Jakarta mengalami nasib seburuk ini. Tak ada yang bisa menghindar dari jilatan air bah. Semuanya kena. Bekas presiden yang pernah berkuasa lebih dari tiga dasawarsa maupun presiden aktif yang baru memerintah seumur kencur sama tak bisa mengelak. Apalagi hanya seorang pelukis yang belum jadi, yang mabuk karena angan-angannya yang liar. Waktu itu, ketika pelukis kita pulang dari kafe di Taman Ismail Marzuki, dia tidak lagi menemukan anak-istrinya di rumah. Air sudah mengangkangi lemari dan seluruh lukisannya terbenam. Ketika rombongan kami tiba di aula sekolah yang menjadi pos penampungan korban banjir di mana pelukis kita dikabarkan berada, kami menemukan dia sedang duduk bersandar ke dinding, sementara anak dan istrinya berbaur dengan orang-orang yang telantar di situ. Perjumpaan itu aneh dan sangat dingin. Kami tidak hanya menyalami dan mencurahkan kata-kata simpati kepadanya, tetapi juga merangkulinya. Anehnya, dia hanya diam membeku. Matanya kosong. Kalau ditanya dia tak menyahut, cuma memakukan matanya ke lantai. Mata kami tertarik pada lukisan dua kali tiga meter yang tergantung di dinding, persis di atas buntalan yang teronggok di lantai. Alat-alat lukis terserak di dekatnya. Lukisan itu kelihatannya baru saja diselesaikan. Bingkainya belum dirapikan benar. Kami kenal betul sapuan-sapuan catnya adalah pernyataan jiwa pelukis kita. Kami tanya, kapan diselesaikan, dia tidak menjawab. Di atas kanvas itu terpampang potret dirinya yang bertelanjang dada sedang jongkok mencangkung, mulut tertutup rapat dengan mata yang liar menatap ke depan. Di belakangnya, dalam warna kelabu berbaur dengan hijau, terhampar ribuan kepala manusia dan pohon-pohon yang hanyut, sementara matahari mengapung berat di kejauhan. Terasa mata yang menatap liar ke depan itu begitu kuat menyatakan sikap tak mau menyerah, mau menegakkan harga diri, walaupun penderitaan mengelilingi. "Takkan salah, ini lukisannya yang terbaik. Saya belum pernah melihat lukisan realisme Indonesia sekuat ini. Perhatikan matanya, dan juga latar belakang yang menambah aksentuasi akan apa yang ingin diucapkannya," komentar seorang teman. Kami semua terperanjat melihat baskom yang diletakkan di bawah lukisan itu. Beberapa lembar uang ratusan, ribuan, tumpang-tindih di situ. Kami yang datang menjenguk saling pandang. Mata kami saling berkata betapa kuatnya lukisan yang terpampang di tembok itu sehinga bisa menggugah orang untuk meringankan beban pelukis kita, walaupun mereka sendiri barangkali berada dalam kepungan banjir yang membawa kesusahan. Kami kembali saling-pandang dan hati kami sepakat untuk menyumbangkan uang sebanyak yang bisa kami berikan. Ketika kuletakkan beberapa lembar uang kertas, terbayang di kepalaku setelah banjir surut ribuan orang datang berduyun-duyun mengunjungi pos penampungan korban banjir itu untuk menyaksikan lukisan dahsyat yang telah digoreskan oleh seorang pelukis, yang dengan memikat telah memindahkan sikap pantang menyerah ke permukaan kanvas. Sapuan-sapuan kuasnya menghanyutkan. Ribuan orang datang dan memberikan sumbangan sekuatnya, tanpa ada keinginan sedikit pun memiliki lukisan itu. Mereka telah menjungkirbalikkan sikap mau menguasai dari para kolektor yang sedang menjajah seni lukis. Puncak pencapaian budaya seharusnya memang menjadi milik bersama. Karena dia adalah ungkapan diri kita secara kolektif. Kami melangkah mendekati pelukis kita. Bergantian kami memeluk dan membisikkan kata-kata yang membangkitkan gairah hidup kepadanya, walaupun dia hanya tetap membisu. Kami tahu dia sedang berjuang mengatasi apa yang sedang bergolak di dalam hatinya. Sebelum tiba giliranku berpamitan, begitu hendak memeluknya, tiba-tiba dia melangkah maju merangkul pundakku, menatap mataku, dan katanya, "Maaf Bung, saya telah beratus kali berbohong, sehingga dapat ganjaran seperti ini." Kubalas pelukannya dengan rangkulan yang lebih erat. "Jangan lagi berangan-angan terbang ke mana-mana. Anda akan menjadi besar di sini, dan biarkan dunia yang datang dengan sendirinya menjemput Anda. Sungguh, benar kata teman tadi, saya juga belum pernah melihat lukisan dengan ekspresi sekuat lukisan Anda yang di dinding itu." Dalam perjalanan pulang, teman-teman menumpahkan iri hati mereka karena hanya kepadaku pelukis kita mau berbicara. "Heran... apa yang dia katakan?" tanya mereka. Aku tersenyum. Sesekali, kupikir, boleh juga mengecoh berseloroh, dan aku meletup, "Kalau dia punya uang suatu ketika, dia ingin membeli aula sekolah itu untuk didedikasikan sebagai museum korban banjir."*
No comments:
Post a Comment