Sumber: Kompas, Edisi 06/02/2002
Hari Minggu, tidak terlalu pagi. Tiba-tiba istri saya berteriak memanggil nama anak-anak seperti ketakutan. Saya yang sedang sibuk menguras bak di kamar mandi buru-buru keluar, ingin tahu apa gerangan yang terjadi.Ibu mana?" tanyanya cemas. "Papi sih, mestinya keluar masuk pekarangan, pintu pagar digembok. Kalau tidak, ibu pasti kabur." Saya belum sempat bereaksi, putri bungsu saya buru-buru mencari sandal, lalu nyerocos menembus pintu pagar, memburu neneknya yang sudah mulai pikun itu. Istri saya menarik napas. Tapi saya curiga, kalau-kalau sepeninggal saya di kamar mandi tadi, istri saya telah berbicara agak kasar dengan ibunya. Padahal, sebelumnya mertua saya itu duduk-duduk di teras sambil membaca-baca koran edisi Minggu yang baru saja saya terima dari loper. Ia masih suka baca koran sambil berdiskusi dengan saya. Sayalah satu-satunya menantu beliau yang mau berdiskusi tentang apa saja, termasuk mendengarkan cerita-cerita nostalgianya di masa lalu. Apalagi kalau sesekali saya bertanya tentang kata-kata Belanda yang diucapkannya di sela-sela percakapan kami, ia tampak bersemangat.Sejak meninggalnya bapak mertua saya beberapa tahun lalu, ibu tinggal bersama anak-anaknya secara bergilir sesuka hatinya, terutama di rumah anak-anak perempuannya yang semua telah memiliki rumah. Itu bukan berarti ibu tidak pernah tinggal di rumah Rudi, satu-satunya anak lelaki beliau dan bungsu, tapi tidak dalam waktu yang lama. Tidak lebih dari seminggu."Istri Rudi itu tidak bisa masak. Kasihan Rudi. Dia itu sejak bayi hingga jadi mahasiswa tak pernah merasa enak makan, kecuali masakan ibu," kata ibu mertua saya itu kepada saya. Dan, itu sudah yang kesekian kali diucapkannya hampir setiap kembali dari rumah Rudi, begitu ia memulai giliran tinggal di rumah kami. Di waktu yang lain, ia berkata: "Kasihan Rudi, istrinya tidak telaten merawat suaminya. Anak-anak dibiar manja sama bapaknya. Padahal, bapaknya capek, kan?"Pernah ibu mertua saya itu baru menginap semalam, paginya langsung menelepon saya: minta dijemput. Saya janjikan akan menjemputnya sore hari, sehabis jam kerja saya, tapi beliau bersikeras pagi itu juga. Sudah barang tentu ada apa-apanya. Kami sudah menduga apa yang terjadi, dan saya pun menjemputnya pagi itu dengan mengorbankan jam kerja.Begitu ibu menginjakkan kaki di teras, ia langsung memuntahkan kekesalan hatinya. "Mantuku itu selalu salah terima kalau ibu memberi nasehat.""Memang ibu bilang apa sama dia?" istriku menyambut."Ibu hanya minta dia bikinkan telor mata sapi untuk suaminya ketika ibu lihat lauk untuk makan malam suaminya sudah menipis," keluhnya mengenang. "Apa itu berarti mencampuri? Padahal, ibulah yang paling tahu apa yang disuka Rudi. Bahkan, sejak dari dalam kandungan, ibu tahu apa yang disukai Rudi."TUHAN punya kehendak lain. Tiba-tiba saja Rudi meninggal dalam waktu beberapa menit setelah mobilnya menghantam bus kota sewaktu menuju ke kantornya di pagi Senin yang naas. Agaknya Tuhan juga memperlihatkan kekuasaan-Nya, Rudi yang baru berusia empat puluhan dan paling bungsu dari tujuh bersaudara dipanggil paling awal oleh-Nya. Kami semua terpukul, apalagi ibu. Padahal, seminggu sebelumnya, Rudi telah menyampaikan gagasannya kepada kami semua untuk memberikan hadiah istimewa di hari ulang tahun ibu yang ke-80 beberapa bulan lagi.Sejak kepergian Rudi, ibu sangat berubah. Pandangan matanya terlihat kosong. Ibu jadi pendiam dan amat perasa. Dan, ibu bisa tidak tidur semalaman jika siangnya tidak ada yang bersedia mengantarnya ke kuburan Rudi di bulan pertama setelah kepergian Rudi. Di bulan pertama itu, kalau hari tidak hujan, acara ziarah ke kubur itu menjadi wajib bagi ibu. Kami, mantu-mantu ibu secara bergantian mengantar ibu ke pemakaman umum yang terletak di pinggir kota.Selain menangis dan berdoa di kubur Rudi, ibu bercakap-cakap dengan batu nisan. Gerombolan pengemis, petugas kebersihan pemakaman, dan penjual kembang seperti sudah menjadi langganan ibu. Untuk itu kami selalu membelaki ibu uang receh secukupnya. Soalnya ibu hampir-hampir tidak mengenal lagi nilai mata uang. Ibu akan memberikan lembaran uang berapa pun jika ada pengemis meminta, tidak peduli lembaran lima puluh ribuan, atau seratus ribuan."Ah, apakah artinya kertas-kertas itu. Lebih baiklah dikasihkan kepada orang yang lebih membutuhkannya," jawab ibu ketika istri saya menyoal ibu setelah nekat memberikan uang lima puluh ribuan kepada pengemis buta di gerbang pemakaman."Banyak yang dapat dilakukan dengan uang sebanyak itu, Bu. Uang sebanyak itu bisa untuk jajan si Oni seminggu. Atau untuk membeli keperluan dapur," kata istri saya."Apa kamu kekurangan uang? Uang pensiun papamu masih banyak di bank. Sudah lama ibu tidak mengambilnya. Kamu mau, atau kamu perlu? Berapa?""Bukan begitu, Bu. Ibulah yang mengajar kami dulu supaya hidup jangan boros.""Kalau untuk akhirat, ibu mau boros. Itu semua bakal diganti Tuhan dengan imbalan yang berlipat ganda di sorga. Ibu sekarang mau ke sana," ujar orang tua itu dengan mata berlinang.Kalau sudah begitu, saya akan menarik istri saya dan memintanya untuk bersabar dan bersikap baik dan santun pada ibu. Apalagi akhir-akhir ini ibu mulai nyinyir, suka lupa, sekaligus pendiam. "Semua tingkah laku aneh itu harus disikapi dengan kesabaran seorang anak yang berbakti," saya bilang. Tapi, itu bukan berarti istri saya selalu waspada bila giliran ibu berada di rumah kami.Seperti kejadian seminggu lalu, ibu tiap sebentar mengatakan bahwa pembantu Kak Nurma-kakak istri saya-itu pencuri. Gelang emas peninggalan nenek telah dicuri pembantu itu ketika ibu sedang mandi."Gelang ibu itu sekarang disimpan Kak Nurma. Soalnya, ibu suka menaruhnya di sembarang tempat. Untung pembantu itu jujur, ia serahkan gelang itu pada Kak Nurma ketika ia menemukan gelang itu di kamar mandi," jelas istri saya."Anak itu memang pencuri. Taroklah gelang itu ia tidak berani mengambilnya. Tapi yang lain-lain?""Apa misalnya?""Banyak. Hampir tiap hari Yeni memberi ibu apel atau jeruk. Nanti, ketika ibu ingin makan buah itu, hilang. Tanya sama dia, selalu bilang tidak tahu. Siapa lagi kalau bukan dia, orang kampung rakus itu? Coba!"Istri saya tertawa ngakak."Kok, kamu tertawa?""Habis, saban Kak Nurma menelepon saya, pasti ada saja yang diceritakannya tentang ibu. Nah, di antaranya buah-buah itu sering ditemukan sudah membusuk di dalam almari pakaian ibu. Kadang-kadang kalau pembantu itu membersihkan kolong tempat tidur ibu, juga sering ditemukan apel busuk, jeruk busuk. Jadi, ibu jangan sembarang tuduh orang mencuri. Katanya mau beribadat. Itu kan menambah dosa jadinya. Ya, enggak?"Ibu lama terdiam. Ketika saya keluar ingin menetralisasikan suasana, dengan senyum seramah mungkin kepadanya, ibu menatap saya seperti minta perlindungan dari "ancaman" dosa yang di lontarkan istri saya tanpa kontrol. Saya mengajak ibu makan bersama saya. Saya kode istri saya agar menghidangkan makan siang meski baru pukul sepuluh di hari Minggu itu. Ibu menurut.Melihat tumpukan buah jeruk di atas tempat buah di meja, ibu kembali lagi mengulangi unek-uneknya. "Pembantu Nurma sering mencuri jeruk ibu," katanya ketika mau duduk. Istri saya yang sedang menuang air ke gelas, langsung berhenti dan menatap ibu sambil berkata: "Nah, ibu mulai lagi bikin dosa. Ibu sudah mulai pikun ya? Tadi saya bilang apa?"Ibu kembali memandang saya seperti minta perlindungan dari kata-kata istri saya yang menusuk sanubarinya. Saya melihat sinar mata ibu yang sarat masa lalu. Betapa bahagianya dulu ia, istri seorang ambtenaar, dikaruniai tujuh anak, berpendidikan sekolah khusus anak-anak Belanda dan kaum priyayi. Kini, masa tua yang tak berdaya, telah membuatnya semakin tak berdaya melawan ketuaannya. Sinar matanya mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya sendiri, dan mata ibu-ibu lanjut usia pada umumnya."Ayo, Bu. Kita makan," saya menengahi suasana."Tidak, ibu masih kenyang.""Ayolah, sedikit saja. Biasanya kalau bersama ibu, makan saya jadi enak.""Kali ini ibu mendadak kenyang oleh kata-kata istrimu.""Ibu jangan ambil hati. Di rumah ini ibu lebih baik mendengar saya daripada dia."Saya tak berhasil. Ibu berdiri menuju teras kembali. Saya meneruskan makan agak cepat. Begitu mencuci tangan, istri saya kelihatan cemas. Pintu pagar terbuka. Ibu tidak ada. Putri sulung saya-cucunya yang paling disayang ibu di rumah kami-buru-buru mengejarnya. Didapatinya ibu sedang bingung mau menyeberang jalan raya yang lebar dan dua jalur penuh kendaraan.Sejak itu kami waspada dengan pintu pagar kalau ibu tinggal bersama kami. Tentu saja dengan menjaga perasaannya, terutama dari kata-kata yang kadang-kadang bisa lebih tajam daripada silet.PUTRI bungsu saya, yang tadi mengejar neneknya, kembali terengah-engah dengan air mata berlinang. Saya telah menduga bahwa ia tidak berhasil menemukan neneknya. Saya langsung mengeluarkan mobil, tapi tidak tahu mau mencari ke mana. Istri saya sibuk menelepon saudara-saudaranya, memberi kabar tak sedap itu.Saya menduga-duga kalau ibu pergi ke kuburan Rudi. Tapi, tidak mungkin karena ia tidak bisa naik oplet atau taksi. Lagi pula ia pergi tanpa uang dan tak dapat menentukan ke arah mana ia harus pergi, ia sudah kehilangan kesadaran geografis. Namun, saya arahkan juga mobil ke kompleks pemakaman itu, sambil menyusuri jalan pelahan-lahan, kalau-kalau ibu nekat berjalan kaki.Di kuburan kami bertemu berempat, sesama menantu ibu. Ibu tak ada di sana. Bang Sapar, suami Kak Nurma, berencana melapor ke kantor polisi terdekat. Tapi, saya masih punya harapan. Saya pulang ke rumah. Istri saya cemas ketika melihat saya pulang tanpa ibu. Saya langsung saja menuju kamar putri bungsu saya yang punya tempat tidur besar. Saya mengambil senter dan menyenter ke bawah kolong tempat tidur itu sambil tiarap.Mata ibu berkedip-kedip menahan sinar senter saya. Saya menghadiahi ibu senyuman. Ibu membalasnya. Dan, saya mengulurkan tangan. **
No comments:
Post a Comment