Sumber: Kompas, Edisi 01/12/2003
SI Upik punya dua pusar-pusar1 di kepala. Rambut ikalnya berpusing pada satu pumpunan di ubun-ubun, kanan dan kiri. Tanpa harus menguak dan meraba, cukup angin saja yang menyibak, maka rambut berpusing itu akan segera terlihat, dan orang-orang membacanya sebagai pusar-pusar ternak paling baik. Tanda seperti itu-jarang orang yang beruntung memilikinya sepasang-dipercaya membawa berkah bagi ternak yang digembalakan. Konon, setiap ternak yang diperuntukkan buat si Upik, bakal cepat berkembang, terhindar dari segala penyakit dan kematian.Demikianlah, orang-orang percaya pada pertanda. Boleh jadi ungkapan yang menyelubunginya semacam doa yang dipanjatkan. Dan kenyataannya memang demikian. Ketika si Upik masih kecil, pusar-pusar ternak di kepalanya sudah cukup teruji. Bila ayahnya membeli sepasang ayam, cukup dengan berkata, "Ayam ini untuk si Upik," maka, ajaib, ayam itu menghasilkan telur yang banyak, semuanya selamat dierami, dan turun dari kandang berkembang-biak, lalu tumbuh berpasang-pasang.Akan tetapi, bila Ayah memperuntukkan ayam itu buat si Kandik-kakak laki-laki Upik-maka tak kalah ajaibnya, ayam-ayam itu seperti tak berdaya menghadapi alam. Merimuk saja di sudut kandang, dikungkung penyakit dan dijemput kematian. Atau ada yang sempat bertelur, tapi telurnya berserak-serak dalam belukar, dua-tiga butir yang dierami, itu pun tak menetes!Bagaimana mungkin kita tidak percaya pada pertanda dan isyarat? Kandik memang tak punya pusar-pusar baik di kepala. Rambutnya kasar seperti ijuk, berdiri tegak umpama dari landak, menampakkan wataknya yang keras. Ia bercita-cita menjadi tentara, dan Ayah merestuinya. Karenanya, sekolah si Kandik harus terus disambung; tamat SMP ke SMA, nanti mendaftar jadi tentara. Berbeda sekali dengan si Upik. Semenjak kecil di telinga gadis itu telah didengungkan isyarat baik yang ia punya; pusar-pusar ternak itulah, tiada dua. Sering Mak mengajaknya duduk di tubir jenjang, mencari kutu, sambil menyibak pusaran rambut itu, Mak akan berkata tentang keberuntungannya, semacam doa yang memang tak putus-putusnya dipanjatkan. Upik merasa tersanjung, dan segera membayangkan ternak berkembang-biak; ayam-ayam berkotek di kandang, sapi-kerbau dan kambing-kambing merumput riang di padang hijau. Alangkah indah dan menyenangkan.Silau oleh semacam keindahan ajaib yang meruah direlung hati masa kecilnya, yang dihembus-hembuskan orang sekeliling, tanpa sadar si Upik telah bercita-cita saja ingin menjadi pengembala. Dan, ya, Ayah tentu merestui. Bahkan kalau si Upik tak bercita-cita demikian, Ayah pasti memaksa dan mengarahkannya. Tak perlu menunggu lama, tak perlu menunggu tamat sekolah, baru akan naik ke kelas enam saja, Ayah telah memberinya sejumlah kambing-kambing orang dengan sistem paroan2. Maka, di usia sehijau itu, si Upik sudah bergulat dengan cita-cita sederhananya dulu.Pagi-pagi sekali, saat kawan-kawan seusia berdayung sepeda ke sekolah, si Upik dengan caping di kepala dan pakaian lusuh (bukan seragam putih-biru!) juga bersegera menggiring kambing-kambingnya ke padang gembala. Padang itu terletak cukup jauh dari perkampungan, melewati sehamparan sawah dengan pematangnya yang kurus, dan di sebalik semak-semak akan nampak dataran menghijau lengang. Di sanalah si Upik menghabiskan hari tanpa merasa berkecil hati. Bukankah ia beroleh berkah dan anugerah yang tertuntung dari langit, langsung ke ubun-ubun yang meriap bagai rumput atau alang-alang yang tunduk, berpusar pada kehendak alam? Meriap dalam satu pumpunan yang menjanjikan kesuburan?SEPERTI diduga, ternak si Upik memang berkembang-biak. Siapakah yang bisa mengelak dari pertanda? Tak ada. Orang di ranah itu sudah sejak dahulu berguru kepada alam. Setiap tanda jadi tanya, setiap isyarat jadi sebab. Dan leluhur telah mempersiapkan jawab yang layak diterima sebagai berkah warisan, turun-temurun, bagai air pada cucuran atap jatuh di pelimbahan yang sama. Menjadi adat orang seranah. Lihatlah si Upik: Pergi pagi pulang petang telah menjadi irama kesehariannya, berkah dari adat yang bertuah; berkat tetua yang pandai membaca. Segala tanda dan isyarat!Begitulah. Rasanya belum lama berselang si Upik masih menghapal puisi "Gembala" karangan Muhammad Yamin di buku pelajaran Sekolah Dasar yang keburu ia tinggalkan. "Anak gembala, seorang sahaja di tengah padang, tidak berbaju buka kepala..." Kata itu serasa masih bergema di relung hatinya.Seorang sahaja di tengah padang (tentu tak buka baju karena ia perempuan!), begitulah keadaan diri si Upik. Sendiri memintal hari, bagai tangannya yang bosan memintal bunga rumput jadi mainan. Berhujan-berpanas sudah biasa. Berubah legam kulitnya yang kuning langsat, dan di kampung ia dipanggil "Upik Itam", bukannya "Upik Kambing Banyak"-sebagaimana yang ia inginkan, tentu sambil membayangkan perempuan sanjungan dalam cerita "Puti Gelang Banyak". Tidak. Si Upik tidak pernah mendapat penghargaan semacam itu, dan ia tak peduli. Ia hanya tahu bahwa bebannya kian bertambah, tukuk-bertukuk tiada habis akibat pusar-pusar ternak di kepala. Kian banyak orang tertarik menyerahkan hewan ternak-termasuk kepala kampung-dengan sistem paroan yang lazim berlaku di situ. Tak hanya kambing, tapi bermacam-macam, dari ayam, sapi dan kini kerbau. Sungguh menambah beban, sebaliknya menambah silau hati Ayah akan harta. Dan semua ternak diterima Ayah, tanpa pernah berunding dengan dirinya.Siapa berani menantang Ayah? Berani menantangnya-apalagi anak perempuan-sungguh dianggap keterlaluan; berarti menantang adat dan kebiasaan. Maka, begitulah, dengan kumis melintang, badan berdegap dan wajah selalu berhias amarah, sudah lama Ayah menjelma hantu yang menakutkan Mak, kakak-adik, apalagi si Upik, tak ketinggalan ternak di kandang atau di tengah padang. Selalu, selalu saja Ayah menjelma hantu (tapi lebih sering srigala) yang datang tiba-tiba dari balik semak-semak, dan berseru di tengah padang. "Upik, ayah butuh seekor kambing!" Maka, dengan sekali sentak, kambing yang ia minta telah membebek dibawa pergi-demi hasratnya berjudi!Dan petang itu si Upik teramat sedih. Soalnya kambing kesayangan (tanduknya melengkung seperti tanduk rusa) dicegat Ayah di pintu kandang, dan segera beralih ke tangan seorang juragan (ah, mungkin juga seorang bandar!). Si Upik tak kuasa menahan tangis, tapi bukan penghiburan yang didapat, melainkan dampratan dan umpatan. "Anak tak tahu diuntung!" itu jenis makian yang menghambur berulang-ulang. Membuat si Upik tak nafsu makan. Ia merajuk, dan Mak tak kuasa membujuk. Akhirnya Ayah bertindak lebih jauh, tak sekadar membentak tapi menggampar. Dilecut pakai sabuk atau cambuk ekor pari memang telah menjadi langganan si Upik. Tak jarang ia direndam ke dalam sumur berjam-jam bila Ayah marah. Dan petang itu, dengan hidung dan telinga disumbat kapas, Ayah menyeretnya ke belakang. Dengan satu sentakan, terikatlah si Upik di batang jambu yang dipenuhi semut rangrang!Upik membenturkan kepalanya ke batang pohon. Dibentur-kan kepalanya sepuas-puasnya, seolah dengan itu pusar-pusar di rambutnya akan segera sirna!BESOKNYA Upik demam, tapi ia tak mungkin meninggalkan tugas. "Kamu mesti berangkat, Pik. Apa kata orang yang ternaknya kita gembalakan kalau seharian dibiarkan di kandang," kata Mak kelu.Terhuyung Upik meniti pematang. Perutnya mual, ingin muntah. Di kubangan, ia lihat wajahnya, kurus dan menderita, juga rambutnya yang kusut. rasa sakit dan putus asa menggerakkan tangannya menarik rambut itu, dijambak dan diacak-acak. Dicakarnya pusar-pusar itu seperti mencakar bara dendam. Beberapa bangau putih terbang rendah mengitarinya seolah membawa kabar yang mesti tersampaikan. O, kawanan bangau yang putih yang suci, patuklah pusar-pusar di rambutnya, dan kembalikan kepada langit yang dipuja!Tapi, bangau-bangau itu lantas menjauh, ketika seseorang datang berseru, "Kamu sakit, Upik, istirahatlah!" Ternyata Pak Kudun, laki-laki tetangga rumah yang sebaya dengan Ayah. Segera dibimbingnya Upik ke bawah pohon ketapang. Dipijatnya kepala Upik di sana, dan ketika menyentuh pusar-pusar itu tangannya bergetar, entah kenapa. Mata Upik sebak menahan semacam keharuan; rasa diperhatikan dan penghiburan. Hal yang tak pernah ia dapatkan dari seorang pun, kecuali dari Pak Kudun!Ah, Pak Kudun! Hampir tiap hari ia lewat di sini, mencari jalan pintas ke ladang di lereng bukit, yang menjadi latar perkampungan. Isi ladangnya tak pernah jelas. Kalau ada yang bertanya bagaimana keadaan tanamannya, ia dengan nyentrik bilang, "Hampir panen..." Tapi bila besoknya ada yang bertanya lagi ia jawab enteng, "Panen gagal, diserbu belalang dalam semalam..." Lama-lama, orang mahfum, aktivitasnya berladang sebenarnya lebih untuk mengimbangi kehidupan istrinya yang sibuk keliling kampung menawarkan barang kreditan. Semacam kompensasi yang dapat dimaklumi semua orang, apalagi mereka tak punya anak.Tapi Upik menyukainya. Wajahnya bersih, menyejukkan. Tak tergurat tanda amarah. Dan penuh perhatian, itulah yang utama. Sebenarnya, bukan sekali ini saja mereka duduk berdekat-dekat, tapi sudah cukup akrab-bercakap. Upik merasa tak sendiri bila Pak Kudun melintas, mampir sebentar dan bercakap. Dan merasa lengang bila laki-laki itu melanjutkan perjalanan.Dan kini Pak Kudun ada di hadapan. Mengobati sakit dan lelahnya. Entah perasaan macam apa yang pantas tumbuh dan berkecambah di dada Upik yang remaja. Apakah sekadar mendapat teman bercakap, orang tua penuh perhatian, atau sesuatu yang sukar terucap? Entah. Yang jelas, kehadiran Pak Kudun di padang gembalaan-walau sebagai seorang pelintas-membuat hari-hari Upik terasa lebih berwarna. Meski di sisi hidup yang lain ia tak bisa menghindar dari satu-satunya warna yang kelam: melulu hitam.Tabiat buruk Ayah kian menjadi; berjudi di rumah-rumah kosong dan mengganggu istri orang, kabarnya juga mengganggu istri Pak Kudun! Begitu pula kakaknya, si Kandik yang mempunyai cita-cita tinggi, pernah Upik dapatkan sedang berjudi di dalam semak-semak. Membuat semacam rongga dari rerimbun belukar, dialasi tikar. Ketika hendak mencari kambingnya yang kesasar, tak terduga Upik lewat di tepi sebuah "rongga" yang ternyata ditempati kakaknya. Cepat Upik berlalu, dan Kandik segera mengejar, mengancam, "Awas, jangan bilang siapa-siapa!"Lama Upik terdiam membayangkan itu semua. Sampai kemudian Pak Kudun selesai memijat kepala dan urat-urat di tangannya. "Bagaimana rasanya?" tanya Pak Kudun dengan nada penuh perhatian.Upik menggerakkan kedua lengannya, menggeleng-gelengkan kepalanya kiri-kanan, dan merasa agak enak sekarang. "Sudah lumayan enak, Pak. Terima kasih," katanya dengan suara bergetar. Pak Kudun memandangnya, dengan tatapan orang yang minta diri. Sebelum pergi, sebuah kecupan melintas di tengkuk Upik. Gadis itu terpana diam. Dan Pak Kudun segera melanjutkan perjalanan.Begitulah kehadiran Pak Kudun di tengah padang gembalaan itu. Datang dan perginya alangkah ajaib dan menggetarkan. Pernah sehabis hujan ia datang bagai kijang yang melangkah lincah di padang basah. Lantas, dari arah berbeda Ayah pun tiba bagai srigala mencari mangsa, dan berteriak seperti biasa, "Upik, ayah butuh seekor kambing!"Pak Kudun tersentak mendengarnya. Ayah pun tak kalah terkejut saat menyadari ada orang lain di hadapannya. Keduanya bersitatap."Jangan coba-coba mengganggu anakku! Sebab, jangan sampai nanti berkecil hati kalau karena ini kubakar rumahmu!" kata Ayah geram."Dan kau, tidakkah juga...," Pak Kudun tak melanjutkan, seperti tersadar. Tapi, dengan ucapan yang tak selesai itu, Ayah lalu berbalik langkah. Batal ia mengambil mangsa. Dan Upik, untuk kali itu, merasa sebagai pihak yang menang menghadapi Ayah. Berkat Pak Kudun! Meski setelah itu Pak Kudun pun mengayun langkah ke pematang yang sama: pulang. Upik merasa lengang tiba-tiba. Hati kosong bagai padang ditinggalkan gembala. Seperti sekarang!LENGKING serunai batang padilah yang mengisi kekosongan hati Upik kemudian. Sejenak ia teringat Mak yang sepagi tadi memohon-mohon kepadanya agar tetap menggembala. Ah, Mak, perempuan yang sesungguhnya juga menderita kekosongan yang sama dengan dirinya. Dan karenanya, Upik sungguh tak bisa berbuat apa-apa saat mendapatkan Mak dan Abang Juaro (seorang pemuda alim di kampungnya) bertindihan di balik kandang! Mungkinkah itu pelampiasan dari hati yang kosong? Entah. Upik ingin tak mengenang. Sepenuhnya kini ia ingin berlagu-dendang, meniup puput-serunai batang padi, iramanya melengking tinggi!Tapi, irama itu terputus tiba-tiba, ketika mendengar suara ribut kawanan kambing lari berpencar. Dilemparkannya saja serunai atau puput batang padinya, lantas si Upik berlari menuju ke sana. Astaga! Seekor kambing terdengar seperti tercekik dalam semak, "Mbheeeeekk...!!" Binatang apakah gerangan yang memangsa? Apakah harimau kumbang, atau Ayah yang berubah srigala dengan cara diam-diam-setelah merasa malu berhadapan dengan Pak Kudun dalam peristiwa kemarin? Upik takut membayangkan, tapi ketakutan terhadap hukuman yang harus ia terima dari Ayah-bila kambing itu sampai hilang atau tinggal tulang-mampu mengalahkan semua ketakutan yang sedang mengaduk dirinya. Maka, secepatnya ia terobos semak-semak yang penuh duri dan onak, mengikuti suara yang sayup dan menjauh itu. Barulah sesampai di tempat yang sedikit terbuka, ia melihat sesuatu yang di luar dugaan: kambing itu dihela paksa kakaknya Kandik, beserta kawanan seperjudiannya!Kaget oleh pemandangan serupa, si Upik melepaskan jerit. Lengkingnya memaksa Kandik berbalik langkah, bukan mengembalikan mangsa, melainkan datang dengan ancaman yang sama. "Jangan kau bilang siapa-siapa! Hanya satu ekor. Awas, kalau Ayah sampai tahu, berarti kau yang memberi tahu. Kuberi tahu juga bahwa kau pacaran sama Pak Kudun. Iya 'kan?"Begitulah, Kandik segera berlalu menyusul kawan-kawannya yang kian jauh. Tinggallah Upik dengan hati senyap. Puput-serunai batang padi yang menjadi irama nyanyiannya terhenti dan lenyap.PETANG itu, Upik menggiring kambing-kambingnya hanya sampai ujung pematang. Untunglah binatang ternak itu telah mengerti jalan Pulang. Kemudian sapi dan kerbau ia tambatkan pada pancang di kandang. Senja mulai turun. Tapi Upik memutuskan kembali ke padang gembalaan. Ia ingin menyelinap ke semak-semak, dan kalau nanti Ayah datang mencari, ia akan berpura-pura sedang mencari seekor kambing yang kesasar. Cara itu pasti tak meloloskannya dari hukuman, tapi setidaknya, dengan cara itulah sang kakak terselamatkan....Upik beranjak ke arah semak-semak, bersiap menembusnya seperti menembus gelap yang mulai turun. Tetapi, baru beberapa langkah, tiba-tiba cahaya senter menerap wajahnya. Upik terteror! Dihadapannya berdiri sesosok tubuh tak dikenal, berpulun kain sarung. Ayahkah, hantu, atau... Ia ingin menjerit. Namun, sesuara lebih dulu menyentaknya, "Upik, mengapa masih di sini? Orang-orang di kampung ribut mencari!"Itu suara Pak Kudun, meski sulit dipercaya. Upik memaksakan diri menatap sosok yang baru saja mempertanyakan dan menyuarakan nasibnya. Upik tak bisa menjawab kecuali menghambur ke hadapan laki-laki itu."Tenanglah, Upik, tenanglah... Kita ke ladang saja sekarang...," bisik Pak Kudun, sambil meremas rambut Upik dengan tangan bergetar, persis di pusar-pusar!Dan mereka pun melangkah dalam kelam. Menembus pekatnya ranah yang berkabut. Semakin tebal, semakin bebal.Rumahlebah, Yogyakarta, 2002Catatan:1. Pusar-pusar, pusaran rambut di kepala yang oleh masyarakat tertentu dapat dibaca sedemikian rupa sebagai isyarat atau pertanda. Disebut juga uyeng-uyeng atau pusa-pusa, dan sejumlah istilah lain yang lebih kurang bermakna sama.2. Sistem paroan, suatu sistem bagi hasil yang diterapkan dalam sejumlah bidang usaha seperti pertanian dan peternakan, dimana antara penggarap dan pemilik mendapat hasil yang sama, namum modal (tanah untuk pertanian dan induk untuk peternakan) tetap milik tuan atau yang punya.
No comments:
Post a Comment