Sumber: Kompas, Edisi 03/10/2002
MEREKA menggantungkan tabung infus di tiangnya, di sisi tempat tidur. Di bawah tabung, slang pengantar cairan bergantung terayun-ayun seperti tali pada tiang bendera. Air kehidupan yang tak berhenti menetes, masuk ke dalam urat nadi mereka, dari waktu ke waktu, diiring doa sanak keluarga. Perangkat medis itu, tubuh yang terbujur dalam sekat-sekat kain pembatas, tidak ubahnya plasenta dan bayi dalam rahim seorang ibu. Aku sekarang adalah bayi itu, terbaring dalam rahim waktu, ruang bersekat tirai satu setengah kali dua meter.Waktu terus bergeser. Datangnya waktu, datang pula mereka dalam urutan yang sama, setiap hari. Mula-mula langkah dalam muatan kantuk seorang wanita gemuk mendekat bersama suara roda bergelinding melindas celah lantai keramik yang renggang. Langkah dan gelinding roda itu terhenti sesaat, terdengar bunyi panci bersinggungan dan suara air diciduk dari dalam bejana dan dituangkan ke dalam panci. Pintu dibuka, langkah-langkah mendekat masuk ruangan. Pantat panci bergeser di lantai, didorong ke bawah tempat tidur. Dari sebelah menyebelah terdengar bunyi air diperah dari handuk. Pagi tiba juga seperti biasa.Istriku datang saat air di panci itu telah dingin. Ditambahnya air panas dari termos ke dalam panci. Mencelupkan handuk kecil, memerahnya dan mulai melap tubuhku."Ada telepon? Siapa yang mau datang menjengukku?""Tiap hari kau bertanya seperti itu. Tiap hari kau menanyakan orang-orang yang kau kira memperhatikanmu. Tiap hari kau selalu bilang mereka adalah sahabat-sahabat dekatmu. Apakah aku harus berbohong?"Aku tak menyalahkannya. Aku maklum kalau akhirnya dia bereaksi seperti itu. Dia lelah. Banyak faktor yang dipikirkannya, yang datang dari luar dirinya. Dia memang benar-benar lelah. Dia yang membangunkan anak-anak ketika mendapatkan aku tersungkur tak sadarkan diri di lantai kamar mandi. Dia menjerit dan berteriak-teriak membangunkan anak-anak. Menyuruh mengeluarkan mobil. Dan terus menerus menangisiku yang diusung para tetangga ke dalam mobil. Dia duduk memangkuku di bangku tengah dan terus-menerus dalam keadaan tegang menghadapi jalan yang macat. Dia berteriak-teriak menyuruh mobil dipacu lebih cepat supaya bisa lebih awal tiba di rumah sakit. Dia memang tegang. Dia kurang tidur. Dia terus menerus menungguiku. Mengambil pispot. Menampungkannya. Membuangnya ke kamar mandi. Meneteskan madu ke dalam mulutku. Menyuapiku. Menampung muntah. Menjaga jarum infus supaya tidak terlepas dalam mengigauku yang meronta. Dia berulang kali tersentak dari tidurnya karena sentakan liar yang kulakukan. Dan tak pernah lupa menuntunku menyebut Allah. Dia memang lelah. Terlalu banyak yang membebaninya."Aku datang!" kata suara itu."Siapa Tuan?""Yang datang diakhir kehidupan.""Tidak. Tidak sekarang. Harusnya Tuan tak datang, sekarang. Saya sedang tidak menunggu Tuan.""Tak ada waktu untuk menunda. Sekarang adalah saatnya bagimu. Ini takdirmu.""Tolonglah, Tuan. Jangan sekarang. Saya sedang tidak menunggu Tuan."Dia tidak hiraukan aku. Dia buka gerbang ketidak-kekalan, lubang untuk jalan berpindah dari negeri yang fana ke negeri yang baka. Aku dibawanya meninggalkan hangatnya dunia fana. Masuk ke dalam liang cahaya yang dalam. Melayang bagai kapas dalam tiupan angin kencang. Berakhir dengan tiba-tiba di hamparan kebun tembakau. Seluruh mata memandang adalah lautan hijau daun tembakau.Aku tercebur ke dalam lautan hijau pucuk tembakau itu. Kupu-kupu terbang meninggalkan telur di daun-daun yang muda. Ibu datang menyongsong dari kejauhan. Ujung telekungnya terseret menyapu pucuk-pucuk daun. Angin menebarkan wangi yang tak pernah tercium. Direntangkannya tangan sebagai awal pelepas rindu. Dia muda. Lebih muda dari aku. Kutinggalkan ciuman di keningnya sebelum orang menutupnya. Rentang waktu yang panjang. Empat puluh tujuh tahun."Sekarang sudah tiba saatnya kau datang, anakku. Kau lihat itu, adikmu, si Choliq. Abangmu, si Abdullah. Lihat, siapa di sana? Ayahmu, Muhammad Saleh, si penjaga malam itu. Mari. Kami sudah lama menunggu kedatanganmu. Akhirnya tiba juga saat itu. Mendekatlah. Lupakan semuanya. Kau sudah cukup lelah. Sudah cukup waktu dunia menjadikan kau manusia pekerja. Beristirahatlah sekarang. Kau bekerja telah terlalu lama. Sebelum mencapai usia sekolah, kau telah bekerja. Kau dan ibu berjalan berkilo-kilo meter sejak subuh dan ketika matahari sepenggalah kita telah sampai di sana, di kebun tembakau itu. Kita menyibak setiap daun mencari ulat dan telur yang ditinggalkan kupu-kupu. Kita seperti burung pemakan ulat. Terbang dari daun ke daun, menyibaknya, menjepit ulat-ulat itu dengan ujung bambu yang diraut runcing seperti paruh. Ayolah mendekat. Kau sudah lelah, mengurus segala yang remeh temeh dunia.""Tetapi, ibu, saya masih belum menuliskan semua itu. Menulis tentang kita dan ulat daun tembakau dalam sebuah novel. Saya masih ingin menuliskannya dalam sebuah cerita panjang. Jangan ajak saya dulu masuk ke dalam dunia ibu. Biarkan saya dulu di dunia kehidupan. Anakku masih kecil-kecil. Masih banyak yang harus kukerjakan. Masih banyak yang belum kukerjakan.""Tinggalkan segala urusan tetek-bengek dunia. Hentikan omong kosong itu, menciptakan kebohongan-kebohongan yang kau mendapatkan kenikmatan darinya. Tinggalkan semua itu. Jangan cemaskan segala yang kau tinggalkan. Dunia kehidupan akan diurus dunia kehidupan. Ketika aku meninggalkan kalian, kalian masih kecil-kecil. Kau masih kelas enam sekolah rakyat. Tidak ada masalah bukan?""Ibu seharusnya tidak berakhir begitu cepat kalau mereka memperdulikan ibu. Tetapi ketika itu saya masih kecil. Saya tidak tahu untuk berbuat apa. Setelah saya besar baru saya tahu bahwa saudara-saudara kita yang mampu tidak menghiraukan ibu. Penyakit batuk yang mengeluarkan darah ibu, tidak mereka cegah. Mereka tidak membawa ibu ke dokter. Ibu sama sekali tidak disentuh obat yang bisa menyembuhkan penyakit ibu. Dikemudian hari baru saya menyadari penyebab penyakit ibu. Kemiskinan kita yang pahit. Ibu menjual jeruk di emper gedung bioskop hingga larut malam. Saya yang memikul salak dalam karung sebelum dituang ke atas tikar yang kita bentangkan di emper bioskop. Ibu duduk di atas tikar di bawah lampu neon gedung bioskop, menunggu para pembeli yang pulang larut malam. Itulah penyebab penyakit ibu. Angin malam yang dingin. Angin malam yang lembab. Dan itu pulalah penyebab ibu menjadi lebih cepat meninggalkan kami. Coba kalau ibu hidup di zaman dimana banyak dokter ahli dan anak-anakmu sudah pada mampu yang tak ibu dapatkan ketika ibu mati muda.""Ketahuilah, anakku, tidak semua yang kita rencanakan bisa kita selesaikan. Kau sudah lelah. Sudah tua. Delapan belas tahun lebih tua dari ibu. Kenangan untuk orang yang berpulang pada usia muda jauh lebih indah dari pada mereka yang berusia tua. Tinggalkan kekacauan dunia. Masuklah ke keabadian. Mari. Selamat datang, anakku."Aku mengelak dari tangkupan tangan ibu yang hendak memelukku."Tidak. Tidak sekarang. Tidak sekarang saya datang kepada ibu."Aku mundur menjauh. Ibu mendekat. Ujung telekungnya terseret di atas permadani pucuk tembakau. Tepi kain putih itu dikibarkan angin yang datang membawa semerbak wangi yang belum pernah tercium.Ayah menghentikan langkah ibu."Biarkan dia," kata ayah. "Dia sekarang memang telah melampaui usiamu, lebih tua 18 tahun saat kau meninggalkan kami. Tetapi dia belum sampai mendekati usiaku, 88 tahun. Dia belum boleh menyerah. Bermohonlah kepada Allah agar kau bisa mencapai seusia ayah. Bermohonlah kepadaNya agar kau bisa kembali ke dunia dan hidup 30 tahun lagi. Kau harus seperti aku. Datang kepada kami, dalam usia delapan puluh delapan tahun. Kita memiliki banyak kedekatan anakku. Sejak kecil kau dekat denganku. Menemaniku di malam-malam dingin. Kita suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang yang terjaga. Terkadang kita seperti berhadapan dengan diri sendiri. Ayah adalah si penjaga malam itu. Penjaga malam di pajak, pusat perbelanjaan yang kumuh dan becek. Setiap malam aku memikul air untuk diisi ke bak-bak penampungan milik para pedagang makanan dan minuman di los itu, kau yang menyuluh gang-gang gelap dengan senter. Jendela, pengalih perhatian. Setiap malam kau dikuasai mimpi-mimpi. Ayah tahu semua itu. Mimpi membuat kehidupan berlanjut. Ayah membiarkanmu seperti itu. Duduk di dalam gelap. Merenungi jendela rumah penambal ban sepeda itu. Kau menunggu anak gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela. Ayah senyum setiap malam melihatmu seperti itu. Memandang dari balik kawat jala mengintai anak gadis penambal ban sepeda itu membuka daun jendela, membiarkan rambutnya terjurai dalam cahaya bulan purnama. Kau adalah si penghayal itu. Kau sama seperti aku. Golongan para pendongeng. Aku mendongeng di depan anak-anak tetangga setelah aku mengajarkan agama kepada mereka. Aku menggantikan mesin pendongeng yang belum ada di kampung kita waktu itu. Kita sesungguhnya memiliki banyak kesamaan dalam berbagai hal. Kalau aku mendongeng langsung kepada pendengarku, sementara kau mendongeng di atas kertas. Kau memiliki garis keturunan yang kuat pada diri aku. Dalam banyak hal kau sama seperti aku. Maka kau harus berusia sama seperti aku, setidaknya mendekati usia aku, delapan puluh delapan tahun, saat nanti kau menemui kami. Jadilah manusia seusia aku saat kau nanti mengakhiri hidup, insya Allah. Bermohonlah kepadaNya. Pulanglah. Pergi sana cari kehidupan. Ingat, ayah tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk. Ayah mengajarkan hal-hal yang baik kepadamu. Jauhkan dirimu dari orang-orang yang suka mengambil jalan pintas, yang membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan. Jauhkan diri dari rasa iri, dengki dan tamak. Jauhi orang-orang yang suka menghasutmu. Jauhi segala yang bisa menghasutmu. Jauhi sumber fitnah. Jangan hidup seperti lilin, mengorbankan damar untuk nyalanya. Orang-orang itu masing-masing ada tempatnya. Jangan dipaksakan. Perkecil risiko kalau tidak bisa menghindar darinya. Kalau kau bisa menuruti semua itu, kau akan mendapatkan ketenangan hidup. Pergi sana, temui istri dan anak-anakmu. Temui sahabat-sahabatmu. Bermohonlah kepada Allah agar kau diberi umur panjang. Hidup bagaikan hadiah. Kalau Tuhan berkenan, kau mendapat kesempatan meneruskan hidup."Seekor anjing berwarna belang: hitam dan putih, datang berlari mendekat kepada ayah. Ayah menghilang ke dalam hutan bersama anjing itu, berburu kancil dengan sebatang tombak. Ibu menyambut hasil buruan ayah, seekor kancil yang terluka. Nasi selalu tak tersedia di rumah. Ibu memanggang buruan itu dan menghidangkan kancil guling. Tak ada nasi kecuali kangkung yang direbus pengganti nasi. Aku mengusir anjing itu setiap kami hendak makan. Aku bersaing sepiring nasi dengannya. Bila ada nasi, ibu membaginya sepuluh piring. Sepiring untuk anjing itu. Aku menghalaunya jauh dari rumah. Aku senang kalau dia tak pulang. Tetapi dia tak bisa lari dari rasa laparnya. Dia pulang pada jam-jam makan. Kuhadang dia di tengah jalan. Tak kuberi jalan untuk pulang. Kuambil batu. Kulempar kakinya. Itulah kaing terakhirnya yang pernah kudengar. Dia lari membawa kakinya yang pincang, ke seberang jalan. Kadang sesuatu terjadi begitu saja. Mobil patroli Belanda melintas dan melindas tubuhnya. Ayah membawa bangkai anjing itu ke rumah. Aku membawa sekop dan menggali lubang. Ayah memasukkan bangkai anjing itu ke dalam lubang, aku menimbunnya.Aku kempeskan ban sepeda dan pergi ke bengkel sepeda itu memompanya. Aku lakukan berlama-lama sampai anak gadis itu keluar untuk keperluan sesuatu yang dia cari-cari, kadang dia membuang sampah dapur. Aku melirik kepadanya, dia melirik kepadaku dan melempar senyum. Jendela, pengalih perhatian. Malam harinya aku menyusuri lorong gelap di dalam pajak, los tempat berjual ikan, sayur, buah, sapu lidi, sapu ijuk, bakul anyaman bambu dan keranjang-keranjang rotan. Di balik rentangan kawat jala-pagar pusat perbelanjaan itu dibuat dari jalinan kawat jala-di seberang jalan, di loteng rumah penambal ban sepeda itu, daun jendela itu terkuak. Anak gadis itu membiarkan cahaya bulan masuk memeluk tubuhnya dengan warna perak. Aku sandarkan ujung tangga pada sisi atas besi pagar, aku naik dan merobah posisi tangga. Aku turun dan meletakkan ujung tangga di bawah bendul jendela. Selangkah demi selangkah aku naik dan, muncul di luar jendela. Dia lihat aku, lalu lari ke pintu, menutupnya, dan menguncinya dari dalam. Dari pintu yang telah terkunci dia lari ke jendela, menolongku masuk dan, mendorong ujung tangga. Terdengar tangga jatuh dan sepi malam. Jendela dia tutup, mengusir cahaya bulan. Bulan tak ikut masuk. Lewat celah kayu rangka jendela dia mengintip melihat aku menggantikannya."Pergi ambil jeruk di pajak buah dekat pintu." Kata ayah muncul dari balik cahaya bulan. Tak ada atap penghalang langit. Semuanya muncul seperti kelambu yang ditambatkan pada empat tiang. Penuh kristal cahaya. Bulan tergantung di sudutnya. "Pergilah. Besok pagi akan ayah beri tahu pemiliknya, ayah mengambil sebutir jeruk. Pergilah ke lorong-lorong gelap itu. Raba di mana jeruk itu tersimpan. Ambillah sebutir. Jangan lebih dari satu."Malam dengan pancaran bulan penuh. Tak ada gelap di dalam los kecuali terang-benderang yang membungkus. Aku hanyut dalam arus cahaya dalam lorong-lorongnya yang bercabang melintasi pajak ikan, pajak sayur, pajak barang pecah-belah dan pajak buah dekat pintu. Aku menyelusup ke bawah rak yang ditutup karung goni. Tanganku meraba di bawah karung, menyentuh buah-buah yang berbeda di antara sekat-sekat pemisah. Apel yang dibungkus jaringan lembut, markisah, semangka, dukuh, salak dan mangga. Aku ingin sebutir jeruk. Aku terus meraba. Ada yang terdorong oleh tubuhku. Sesuatu bergeser di atas. Sekeranjang jeruk jatuh menimpaku, tepat di dada. Aku terbatuk.Dia berdiri di samping keranjang jeruk. Diraihnya tanganku. Ditariknya aku dari tumpukan jeruk, masuk ke dalam relung cahaya yang vertikal, melejit di dalamnya, seperti gelembung dalam pipa air, menerobos langit-langit kelambu. Ayah melempar senyum kepadaku sebelum atap bangunan terkatup menyembunyikannya. Kami hanyut dalam arus cahaya melintas di hamparan kebun tembakau meninggalkan ibu yang berlari di atas pucuk-pucuk daun, mengejar kami. Kami semakin jauh meninggalkannya, sampai semuanya lenyap. Akhir semua itu adalah titik awal cahaya. Tuan itu melepas pegangannya, mendorongku ke luar cahaya berpindah ke negeri yang fana. Sebelum menutup gerbang fana, dia senyum kepadaku."Aku akan menjemputmu nanti."Aku terbatuk mendapatkan kegelapan mata terpejam. Kupaksa membuka mata. Tapi tak kuasa. Aku tak tahu aku berada di mana."Bangunlah, cerpenis. Kau belum mau mati." Suara itu terdengar selayang dekat daun telinga. Terasa ada sentuhan di bagian atas selimut."Bangun Bang. Kami masih menunggu cerpen-cerpen Abang." Kupaksa membuka mata tetapi tak berdaya. Semua terasa masih melayang. Tak begitu jelas."Bangunlah." Suara magis itu mendatangkan kekuatan untuk aku membuka mata. "Bangunlah, coba lihat, siapa yang datang?"Dengan sangat sulit aku membuka mata. Dalam nanar kudapati diriku di ruang yang tak pernah kukenal. Kulihat wanita itu, tapi tak begitu jelas, berada di samping tempat aku terbaring. Wajahnya terbagi dua oleh benda yang terjulai."Siapa engkau?""Aku istrimu. Nurwindasari." Disingkirkannya benda yang terjulai, yang menghalangi pandangannya padaku. Wajah wanita itu sekarang tampak utuh dalam linangan air mata."Di mana aku?""Di rumah sakit. Kami telah kau bikin cemas. Grafik detak jantungmu di layar monitor menunjukkan garis lurus. Jantungmu telah berhenti berdetak. Aku terus menerus berdoa kepada Allah, memohon kepada-Nya agar kau diberi umur. Dokter terus-menerus tak bosan-bosannya merangsang jantungmu agar kembali berdenyut. Dia hantamkan berulang-ulang dua alat kejut jantung ke dadamu. Dada kiri dan kanan bersamaan. Dokter itu seperti memegang dua strika listrik yang dihantamkannya ke dadamu. Alhamdulillah. Jantungmu kembali berdetak. Segala puji bagi Allah.""Aku takut. Aku bertemu orang-orang yang telah meninggal. Ibuku, ayahku, abangku, adikku dan orang yang pernah dekat denganku. Aku juga bertemu dengan anjing kami yang telah lama mati. Aku bertemu di tempat kami pernah bersama.""Itu hanya mimpi-mimpi burukmu. Jangan terlampau dipikirkan.""Itu bukan mimpi. Aku datang kepada mereka. Aku bertemu Arida di tempat yang itu-itu juga. Di kamar itu. Di jendela itu.""Selalu itu saja yang kau ceritakan setiap wanita itu datang mengganggu tidurmu.""Dia melompati jendela waktu dia tahu aku lari ke Jakarta.""Itu lagi yang kau ulang-ulang. Penyesalan yang tak pernah habisnya. Lupakan semua itu. Masing-masing ada pada takdirnya.""Aku takut. Dosa-dosaku. Aku belum siap untuk mati.""Suatu hari semua kita akan pulang. Kita semua tahu itu. Tapi semua kita belum siap. Selalu begitu. Belum siap untuk mati. Itulah sebabnya kita berdoa, biar diberi umur oleh Allah. Aku tidak henti-hentinya berdoa supaya kau diberi umur panjang. Kau yakinkan itu, kau sekarang sedang tidak menunggu dia. Kita sekarang sedang tidak menunggu dia. Hilangkan rasa takutmu. Sudah tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Masa kritismu sudah lewat, kata dokter. Kita sekarang sedang menunggu orang-orang yang mencintaimu. Menunggu orang-orang yang menyayangimu. Para sahabatmu.""Aku tidak ingin lahir dari sini disambut ibu dan ayahku. Aku ingin lahir dari tempat ini disambut istri dan anak-anakku. Disambut orang-orang yang mencintaiku. Disambut sahabat-sahabatku.""Bersyukurlah. Masih ada kesempatan untuk hidup. Lihat di balik dinding kaca itu. Siapa yang berdiri di sana? Mereka tadi sudah diizinkan dokter masuk menjengukmu. Satu per satu mereka masuk bergantian menyalaminya. Mereka memberi semangat hidup kepadamu. Lihatlah. Mereka masih belum mau beranjak dari sana meninggalkanmu. Mereka masih melihat padamu dari balik dinding kaca itu. Lihatlah, mereka memberi senyum kehidupan kepadamu. Coba kau perhatikan dari sisi kirimu. Di sana ada Haji Danarto, Sapardi Djoko Damono, Lukman Setiawan, Galeb Husyen, Kenedi Nurhan, Sori Siregar, Martin Alaida.""Siapa lagi?""Wiwiek Sipala, Syahnagra Ismail, Wisnu Murti Ardjo, Kak Atie, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rahman, Titik Ws., Elanda Rosi DS, Adri Darmadji Woko, Lazuardi Adi Sage, Remi Novaris, Abrar Siregar, Ibrahim Basalmah.""Siapa lagi mereka?" ***
No comments:
Post a Comment