Friday, July 1, 2011

Cermin Pasir


Cerpen: Triyanto Triwikromo 

 Sumber: WWW.MONOTON.CO.CC

 TAK ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah dusun dengan deru memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air. Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir hampir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan pergi serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Keheningan sehabis hujan. Sabetan-sabetan wayang Ki Dalang. Dan, celoteh anak-anak kala rembulan jatuh di genting atau di kesunyian tegalan.Baiklah, kuperkenalkan kepadamu: mereka menyebutku penggoda, tetapi sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku masih bisa memesona para penambang pasir dengan gerak trisik menyamping dan mangenjali yang tegak lurus dengan langit.1Malah saat para pria bertelanjang dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean tak berhenti menari?” seseorang tiba-tiba mendesah.”Aku punya firasat buruk, berhentilah menggoda kami,” salah seorang penambang sepuh ikut-ikutan mendesis sambil melihat punggungku.”Malam nanti saya harus menari untuk Kiai Petruk. Izinkan saya berlatih barang sejenak. Setelah bertemu dengan Romo Sentanu dan Ayat, saya akan berhenti.””Malam nanti kami hanya slametan. Kami cuma berkumpul di gereja dan mensyukuri panen. Kami tak akan menari,” penambang sepuh mendesah lagi.”Tetapi Ayat dan Romo Sentanu meminta saya menari,” lenguhku sambil melakukan gerakan pacak gulu.Sejenak sunyi. Tak ada yang berani menghentikan tarianku. Ya, menyebut nama Kiai Petruk, Romo Sentanu, dan Ayat di desa itu sama saja dengan memanterakan kedigdayaan para dewa.Kiai Petruk, kau tahu, adalah kedahsyatan yang indah2. Kalau marah, dari mulutnya yang gaib ia bisa memuntahkan wedhus gembel. Tak perlu berbelit-belit, baiklah kubocorkan kepadamu: pada mulanya aku tak mau menggunakan ungkapan Kiai Petruk untuk menyebut Gunung Merapi. Namun, sejak menyusup ke desa ini aku terpaksa berurusan dengan segala pantangan dan eufimisme aneh terhadap gunung yang berkacak pinggang di pusat Pulau Jawa itu. Maka, aku pun menyebut awan panas yang bergulung-gulung dan menyemburkan debu-debu kejam itu sebagai wedhus gembel. Aku jadi sering menggumamkan kata-kata aneh saat kilau lahar meleleh ke lereng-lereng.Tentang Romo Sentanu: ah, dia hanyalah pastor desa. Aku terpaksa berurusan dengan pria santun itu karena dia terlalu mencampuri urusan para pengusaha penambang pasir dengan penduduk. Dia malah kerap berperan sebagai penggerak demonstrasi ketimbang sebagai paderi. Dan, salah satu tugasku ke desa ini, kau tahu, adalah penggoda. Kalau perlu merontokkan namanya.Karena itu aku akan menari telanjang di kamarnya. Akan kurobohkan seluruh pemahaman dia tentang kerling mata perempuan, desah manja wanita sehabis senja, dan pagutan indah singa betina di leher pria kencana.Kadang-kadang saat suara-suara cenggeret dan garengpung membelah desa, aku sudah membayangkan para lelaki kekar berseragam, teman-temanku yang tak banyak cakap itu, membentangkan kedua tangan Romo di tubuh bukit, memaku kedua telapak tangan, dan menancapkan linggis ke lambungnya. Dan, selalu pada saat dia mengerang kesakitan, aku membuka seluruh pakaian dan menarikan tarian paling erotis dan menghunjamkan pemandangan menyiksa itu ke matanya yang telah dibutakan.Jadi, dia bukan lawan yang harus terlalu diperhitungkan. Kapan pun tangan-tangan kami yang perkasa bisa dengan mudah menghilangkan nyawa paderi yang santun itu.Ah, kau tentu telah mengenal Ayat lebih dari aku mengenal batu-batu, koral, lumut, dan keheningan desa ini. Kau tentu pernah melihat pria bersarung yang sering memainkan lakon Kunjarakarna itu untuk membeberkan kebusukan pengusaha penambangan pasir.Kau tentu sering melihat mulutnya yang nyinyir saat meledakkan kata-kata, ”Dewa ora adil! Dewa ora adil!”3 di hadapan orang-orang asing yang berkunjung ke desa itu.Ya, di mata dalang ceking itu dewa memang tidak adil. Dewa memakmurkan para pria kekar yang tak habis-habis menambang pasir dan tak pernah menggubris penderitaan petani-petani miskin. Dewa hanya memberi Kiai Petruk dan wedhus gembel, tetapi lupa membelai rambut para perempuan yang kehilangan suami saat lahar meluluhlantakkan desa.Dan kalau sudah mendalang, Ayat bisa berubah menjadi dewa. Dengan lembut dia bisa mengajak siapa pun melawan kesewenang-wenangan. Suatu hari ketika dia bilang, ”Mari menari semalam suntuk di sepanjang jalan!” orang-orang sedesa berjoget dari mulut desa hingga ke lereng Merapi.Keruan saja tak ada truk berani menembus kerumunan penari. Tak ada yang bersikeras melindas kepala anak-anak kecil yang sengaja menonton gerak indah para tetua kampung sambil tiduran di sepanjang jalan.Ayat juga mahir menari. Melihat Ayat menari, orang sedesa seperti berjumpa dengan Petruk yang ramah. Petruk yang tak pernah menghukum orang-orang sederhana dengan lahar, awan panas, dan hujan batu yang tak kunjung henti. Petruk yang tak pernah menebarkan kedengkian, pertikaian, dan kebencian.Tetapi Ayat bukan Romo Sentanu. Dalam keindahan gerak tariannya bersemayam malaikat sekaligus iblis. Dia, aku dengar dari para penari lain, gampang bertekuk lutut di hadapan perempuan yang lebih mahir menari. Ibarat Samson, dia sangat mudah ditaklukkan oleh Delilah.Kini kau mulai tahu mengapa diperlukan penggoda untuk menyingkirkan Ayat dan Romo Sentanu. Maka, baiklah kuperkenalkan kepadamu: Mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari.Lihatlah, bahkan di bak truk yang tersengal-sengal mendaki jalanan menuju ke lereng gunung itu pun aku masih bisa memesona para penambang pasir dengan gerak trisik menyamping dan mangenjali4 yang tegak lurus dengan langit.Malah saat para pria bertelanjang dada itu mendesiskan bunyi-bunyi aneh serupa doa, aku berusaha mencuri perhatian dengan keajaiban ngigel dan kerling mata Ken Dedes atau Drupadi.”Mungkin hujan akan segera turun, mengapa sampean tak berhenti menari?”Tak lama kemudian hujan memang turun. Dan, aku menghentikan tarianku tepat ketika truk mengonggok di depan gereja. Mungkin Romo Sentanu dan Ayat akan tergopoh-gopoh menyambutku. Mungkin sambil membungkuk-bungkukkan badan, Ayat akan bilang, ”Mangga Den Ayu, Putri Keratonku, mari menari bersamaku.”Ya, dia boleh bilang begitu. ”Tetapi, aku datang untuk menggodamu, meruntuhkan, dan meluluhlantakkanmu.”DI lereng Merapi kilau cahaya mata Romo Sentanu lebih gaib ketimbang pijar lahar. Karena itu begitu bersitatap dengan Nagreg, segala rencana jahat perempuan kencana dari kota itu membentuk semacam adegan film tragis di keheningan jiwanya yang senantiasa memancarkan kesabaran.Tak aneh jika Romo Sentanu yakin suatu saat Nagreg akan mencampurkan racun di dalam minuman Ayat sehingga Ki Dalang kehilangan suara: tak bisa lagi memainkan wayang dan menebarkan kritik kepada para pengusaha penambangan pasir liar yang jumlahnya kian tak bisa dihitung dengan ketajaman ingatan.Romo Sentanu juga tahu Ayat tak bakal bisa menari lagi karena saat menari bersama Nagreg dalam ritual Larung Sengkala yang chaos, puluhan pria kekar berseragam membabat kaki penari yang setiap tariannya merefleksikan pemberontakan pemilik bukit yang dicekik orang-orang serakah dari kota itu.”Saya hanya ingin menari bersama Ayat, Romo. Saya ingin menghentikan amarah Kiai Petruk dengan tarian-tarian cinta yang belum pernah ditarikan siapa pun,” Nagreg yang tak berani memandang kilau mata Romo Sentanu tiba-tiba merajuk.”Ya, biarkan dia menari dan jadi pesinden saya, Romo,” desis Ayat seraya meredam berahi yang tak tertahankan.Tak ada jawaban. Dan, ketika dari arah puncak Merapi terlontar sinar merah ke beringin putih di ujung desa, ketika lolongan suara serupa gajah yang terluka merintih-rintih mendera seantero kampung, Romo Sentanu menggigit bibir sampai cairan darah segar menggelincir dari mulutnya.”Nagreg akan menyelamatkan kampung ini, Romo. Biarkan dia menari bersama saya,” desah Ayat lagi sambil bersimpuh dan hendak mencium kaki pria kencana yang sangat dimuliakan itu.Belum ada jawaban. Nagreg mengumbar senyum dalam jiwa. Dan, di luar dugaan Ayat, Romo Sentanu meninggalkan gereja. Ayat tak tahu jika Romo Sentanu bertahan dan tak kembali ke kamar pribadi di sebelah gereja, bisa-bisa Nagreg merajuk dengan membuka seluruh pakaian di hadapan patung Bunda Maria yang teduh atau menarikan gerakan tak senonoh di bawah wajah Isa yang menyeringai karena luka di lambung dan tancapan mahkota duri yang menghunjam kepala.Ayat juga tak tahu di kesunyian dan dingin Merapi yang ganjil, Romo Sentanu melihat Isa menangis sesunggukan di bawah pohon beringin putih di ujung desa. Suaranya melengking-lengking bagai puluhan gajah terluka.5ARAK-arakan itu lebih mirip karnaval ketimbang ritual persembahan kepada Kiai Petruk. Dan, malam itu di antara ratusan obor yang diacung-acungkan ke langit, di antara hujan awan panas dan lahar yang terus meleleh pada November yang perih, Romo Sentanu diapit beberapa misdinar memimpin upacara Larung Sengkala yang bakal dihanyutkan di dam yang kehabisan air.Di belakang Romo Sentanu menjalar ratusan penduduk kampung yang mengikuti gerakan tari Ayat dan Nagreg. Ada yang mengenakan topeng-topeng menyerupai kepala gajah. Ada yang mencoreng-coreng wajah mereka agar tampak sebagai harimau.”Gusti, firmanMu akan jadi kasunyatan”, Romo Sentanu mendesah.Ya. Dan, Aku tahu siapa yang akan jadi korban.”Mereka akan memukul kepala saya di tengah-tengah tarian yang chaos, Gusti.”Ya. Mereka akan membentangkan tanganmu di antara kedua bantaran sungai dengan tali teramat kuat. Setelah itu, lambungmu akan dihujami puluhan peluru.”Mengapa harus saya, Gusti? Mengapa bukan yang lain?”O, bukan hanya kau, Sentanu. Ayat dan Nagreg juga disalib bersamamu.SUNGGUH tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah dusun dengan deru yang memekakkan telinga. Kadang-kadang saat gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk-liuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun atau kristal-kristal air.Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk yang menyisir hampir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang.Dan, truk-truk terus datang dan pergi serupa siluman serupa mambang.Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria kekar—sebagian besar berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam.Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.Dan, malam itu mereka datang lagi. Tidak! Tidak! Mungkin sudah beberapa bulan lalu mereka menyusup dan hidup bersama penduduk. Sebagaimana aku, (o, kau tahu namaku Nagreg bukan?), mereka telah menghirup udara, cahaya, tradisi, kebodohan-kebodohan, tarian-tarian aneh, mitologi Kiai Petruk, wedhus gembel yang prek kethek, dan segala tingkah Romo Sentanu serta Ayat.Maka, mereka sangat tahu bagaimana cara terbaik menghilangkan Ayat atau Romo Sentanu. Di tengah kegelapan malam, mereka menggiring pria-pria kencana itu ke tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kiai Petruk, membabat kaki, kepala, atau menembak lambung tanpa suara.Ayat dan Romo Sentanu tentu tak menyangka bakal diperlakukan semacam itu. Sebab, mereka tak pernah menebar kecurigaan ke penduduk. Sebab, mereka tak pernah bersengketa dengan orang-orang miskin itu. Tetapi, bukankah pria-pria berseragam—di belahan dunia mana pun—mahir menjadi bunglon, pandai mengubah diri menjadi trengiling atau ular sawah? Jadi, jangan heran jika mereka bisa menusuk dari belakang.Baiklah, sekali lagi kuperkenalkan kepadamu: mereka menyebutku sebagai penggoda, tetapi sebenarnya aku penari. Tidak! Tidak! Aku pun sebenarnya hanya korban. Mereka menyuruhku memperdaya Romo Sentanu dan Ayat. Namun, setelah segala persiapan penjagalan di tengah dam rampung, kudengar dari salah seorang pria kekar pujaan yang melakukan disersi, mereka juga akan menghabisiku. Tak boleh ada saksi. Tak ada boleh ada yang menawarkan peristiwa ini.Kini, di keriuhan segala bunyi, obor, cahaya mata Romo Sentanu, dan keliaran Ayat menerjemahkan mimpi-mimpi tentang awan panas, lelehan lahar di Puncak Merapi, dan jerit tangis dalam tari, aku hanya berharap sunyi segera menghentikan segala kekacauan ini. Ah, haruskah kuhadapi kematian dengan menari serimpi?Tak ada jawaban. Hanya jerit gamelan. Hanya jerit kesakitan. *

No comments:

Post a Comment