Friday, July 1, 2011

Dua Kidung Malam


Cerpen: Herlino Soleman 

 Sumber: WWW.MONOTON.CO.CC

 SUDAH sangat biasa jika malam-malam begini ada yang mengetuk pintu, pastilah itu Mayumi, tetangga saya. Bukan saja karena hal ini sudah berulang kali terjadi, melainkan karena awal dini hari seperti ini hampir tak mungkin seseorang yang bukan keluarga akan mengetuk pintu rumah orang, selain yang biasa dilakukan Mayumi terhadap pintu apaato saya. Begitulah, karena saya sendiri masih belum tidur, segera saya membukakan pintu, dan memang Mayumi tengah berdiri menunggu pintu dibuka. Wajahnya yang cantik tampak rusuh, tapi menurut saya ini hal biasa. Ia selalu menampakkan wajah rusuh agar saya bersedia melakukan yang diinginkannya. Akan tetapi, kali ini saya sudah siap dengan alasan yang membuatnya merasa sulit untuk memaksakan keinginannya. Karenanya sebelum mengatakan apa yang diinginkannya, saya segera mengatakan bahwa malam ini, meskipun telah ngantuk sekali, saya harus tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang harus dilaporkan besok pagi-pagi kepada atasan saya. Alasan yang saya buat-buat ini jelas tak masuk akal menurut pemikirannya, tetapi sudah berulang kali saya katakan kepadanya bahwa pekerjaan saya memungkinkan dibawa dan dikerjakan di rumah. Dengan mengemukakan alasan seperti ini saya berharap Mayumi mengurungkan keinginannya dengan menemui saya pada awal dini hari begini meskipun wajahnya sudah terlanjur menampakan kerusuhan hatinya. Usaha saya berhasil. Tanpa mengucapkan maksudnya menemui saya, setelah mengucapkan maaf dengan sikap yang menunjukkan kebingungannya, segera ia kembali ke rumahnya yang berbentuk ikkodate, yang berhadapan dengan apaato saya yang sederhana. Akan tetapi, setelah membalikkan badan ternyata ia tak segera melangkah. Ia berdiri saja seperti orang linglung, sehingga bagaimanapun saya merasa penasaran. Meskipun demikian, karena saya sudah terlanjur mengemukakan alasan yang sulit dibantahnya sebelum ia mengatakan maksudnya, saya tidak menunjukkan apalagi menyatakan sikap penasaran saya. Biarlah kali ini saya menguatkan hati untuk tak memenuhi keinginannya. Biarlah ia segera berlalu dari hadapan saya karena malam ini saya ingin sendiri dan tak mau diganggu oleh siapa pun. Dan memang dengan langkah gontai dan tampak lesu sekali, perlahan-lahan Mayumi meninggalkan halaman apaato saya, sementara saya segera menutupkan pintu.MALAM awal musim panas yang nyaman sering mempercepat kantuk karena udara sudah hangat tapi belum terlalu panas menggerahkan. Akan tetapi malam ini, sejak sebelum Mayumi mengetuk pintu, ada perasaan aneh yang menggelibat saya begitu kuatnya, sehingga menjauhkan kantuk dari mata saya. Entah gelisah, gundah, atau sekedar dilanda kebosanan tinggal di perantauan, saya tak tahu pasti. Yang jelas, malam ini begitu kuatnya kenangan saya kepada ibu di kampung. Banyak hal yang saya pikirkan tentang Ibu: kerentaannya, kesendiriannya karena ayah sudah lama meninggal, harapan atas kepulangan saya sebagai anak satu-satunya untuk menemani hidupnya pada masa tuanya, juga harapan yang sering dikatakannya setiap kali saya menelpon bahwa beliau ingin segera punya menantu dan momong cucu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Ketika kenangan tentang Ibu buyar oleh ketukan pintu Mayumi, setelah ia pergi dan saya menutupkan pintu, lamunan saya beralih memikirkan sikap Nakamura. Tak dapat saya pungkiri bahwa akhir-akhir ini saya memang jadi banyak berpikir tentang Nakamura dan hubungan saya dengan Mayumi, anaknya, yang jadi hambar. Ah, lebih baik kalau dulu kami tetap saling tak acuh sebagai tetangga; cukup hanya saling menyapa dengan salam keseharian ala kadarnya jika bersitatap di depan pintu masing-masing atau berpapasan di gang atau di mana pun. Akan tetapi jalan hidup telah menuntun kami pada kenyataan yang mengharuskan kami menjadi lebih akrab. Hal itu terjadi tiga tahun lalu sejak kami, saya dan Nakamura, sama-sama dirawat di ruangan yang sama di Kyoseibyoin. Waktu itu Nakamura dirawat karena levernya kambuh akibat terlalu banyak minum sake saat pesta perayaan osyogatsu, sedang saya dirawat karena menderita kanjonooyo. Dari situlah saya mengetahui lebih jelas, hal ini sebelumnya sering menjadi pertanyaan dan dugaan saya, bahwa Nakamura hanya hidup berdua dengan satu-satunya anaknya, sementara istrinya telah diceraikannya karena minggat dengan laki-laki lain yang lebih muda darinya. Dari situ pula saya mengetahui bahwa Mayumi sangat membenci ibunya dan sebaliknya ia sangat menyayangi ayahnya."Tak diragukan bagaimana Mayumi menyayangi dan mengurusku dengan baik selama ini, dan bagaimana seharusnya kelak ia menyayangi dan mengurus suaminya dengan baik pula!" Kata Nakamura ketika suatu kali ia mengundang saya makan malam lama setelah kami sama-sama pulang dari rumah sakit. Ia lalu melanjutkan, "Andai saja kau merasa betah tinggal di negeri ini, dan tidak berniat kembali dan menetap di negerimu lagi, mungkin aku tidak ragu-ragu menyetujui atau bahkan menyarankan agar kalian menikah saja.""Saya betah tinggal di negeri ini, Nakamura-san, tetapi saya pasti akan dan harus kembali ke negeri saya suatu saat!" Kata saya segera untuk mengurangi suasana kikuk saya dan Mayumi akibat kata-kata Nakamura yang begitu terus terang."Ya, sayang... sayang!" Katanya dengan nada jumawa. Meskipun demikian saya tidak memperdulikan sikapnya yang didasari penilaian atas keberadaan negeri saya yang selalu dikatakannya sebagai negeri yang suram, penuh KKN, dan pelaksanaan hukum yang amburadul. Di lain pihak harus saya akui pula bahwa jika suatu saat Nakamura berubah sikap, saya pun akan dengan senang hati menikah dengan Mayumi karena sesungguhnya kami telah saling mencintai, meskipun masih dengan sikap yang penuh keragu-raguan. Telah beberapa lama, meskipun dengan sikap ragu-ragu, kami memang menjadi semakin akrab dan saling memberikan perhatian yang istimewa, meskipun di depan ayahnya kami menampakkan sikap yang biasa-biasa saja. Sering kami ngobrol berdua, jalan berdua untuk sekedar cari angin atau makan di luar, bahkan sering pula malam-malam Mayumi mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan bikinannya dan kemudian berlama-lama di apaato saya untuk belajar bahasa dan masakan negeri saya. Atas pertanyaan saya, suatu kali, Mayumi mengatakan bahwa semua keberduaan kami diketahui ayahnya belaka."Tetapi ayahmu tak menyetujui hubungan kita jadi lebih dari sekadar persahabatan kan?" Kata saya waktu itu."Ya, memang! Ayah tak pernah membayangkan hubungan kita akan lebih dari sekedar persahabatan!""Hmm...!""Kenapa?""Jadi kita nggak serius?""Kenapa nggak serius? Saya ...saya..."Waktu itu Mayumi tak melanjutkan kata-katanya. Saya diam saja dan tak menuntutnya melanjutkan apa yang ingin dikatakannya. Adalah sangat wajar jika saya tak mengerti apa yang sesungguhnya dipikirkan dan direncanakannya, sebab apa yang saya pikir dan rencanakan atas hubungan kami pun saya tak tahu pasti. Apakah Mayumi mengira bahwa suatu saat saya akan menyatakan bahwa akhirnya saya bersedia menetap di negerinya atau ia yang bersedia mengikuti jika suatu saat saya kembali ke negeri saya. Toh ia sudah tahu bahwa saya hanya memiliki seorang ibu yang harus saya urus kehidupan masa tuanya. Sama dengan keberadaannya yang harus mengurus ayahnya karena ia tak rela memasukkan ayahnya ke panti jompo. Bedanya, ibu saya masih memiliki dua orang adik yang penuh pengertian, dan tentu juga dengan beberapa keponakan yang menemani dan tinggal di rumah kami, sehingga meskipun saya meninggalkannya, masih ada yang menemani ibu. Sedangkan Mayumi, jika ia meninggalkan ayahnya, tentu ayahnya yang semakin kurus itu akan benar-benar sendiri karena ayahnya adalah anak tunggal. Demikian juga ibunya yang kini entah di mana. Kakek dan nenek Mayumi dari ayah dan ibunya juga anak-anak tunggal dari buyut-buyutnya. Pendeknya, semua keluarga di atas ayah dan ibunya itu sudah habis.Menyadari kenyataan itu, karena saya juga harus segera mempersiapkan diri untuk pulang dan kembali menetap di kampung halaman, sejak itu saya mengatur diri sendiri secara lebih tertib, terutama menata perasaan saya bahwa jika suatu saat saya pulang, Mayumi hanya sekedar menjadi kenangan. Meskipun demikian, saya tidak menampakkan perubahan sikap yang drastis. Kami tetap bergaul seperti biasa; menerima kedatangan Mayumi di apaato saya dan memenuhi undangan makan malam Nakamura jika ia sedang agak sehat dan sudah kangen ingin ngobrol dengan saya. Akan tetapi, hal ini pun semakin jarang karena kesehatan Nakamura akhir-akhir ini semakin memburuk.KEGELISAHAN saya ternyata beralasan. Melalui telepon, Haji Mahmud Soeharto, paman saya, mengabarkan bahwa Ibu baru saja meninggal. Saya terdiam sementara paman saya terus bicara. Menyadari saya diam saja, paman memanggil-manggil saya dengan berteriak-teriak. Ia baru berhenti berteriak-teriak setelah saya menyahutinya. Setelah itu, dengan suara dingin saya mengatakan bahwa sebaiknya Ibu segera dikuburkan tanpa harus menunggu saya tiba di rumah. Nampaknya paman merasa puas dan begitu hubungan terputus, saat itu juga saya menelpon pimpinan perusahaan penerbangan negeriku untuk ikut menumpang pada penerbangan hari ini. Pimpinan yang baik itu melayani telepon saya dengan baik meskipun dibangunkan awal subuh musim panas yang sesungguhnya baru pukul setengah tiga dini hari. Dan tentu saja saya mendapatkan tempat duduk dalam penerbangan hari ini juga.Mau tidur jelas sudah tak mungkin sementara saya baru akan berangkat ke bandara Narita pada pukul tujuh nanti. Saya lalu berniat keluar untuk menghirup udara segar. Aneh benar, setelah berjam-jam diganggu perasaan yang ternyata sesungguhnya sedang diajak dialog oleh ibu pada saat-saat terakhirnya, ketika hendak membuka pintu tiba-tiba perasaan saya mengatakan bahwa Mayumi tengah berdiri di balik pintu. Mungkin ia ragu-ragu untuk mengetuk pintu meskipun ia tahu bahwa saya belum tidur karena lampu ruang tengah apaato saya masih menyala yang berarti saya masih belum tidur; kebiasaan saya yang diketahui benar oleh Mayumi. Segera saya membuka pintu dan benar saja Mayumi tengah berdiri di depan pintu. Sebelum saya menanyakan apa pun karena kaget oleh kenyataan ini, Mayumi yang tampak telah sedikit menguasai dirinya segera bertanya apakah kerja lembur saya sudah selesai. Tanpa menunggu jawaban saya, ia lantas mengatakan, "Sejak tadi saya belum masuk rumah karena merasa takut dan bingung. Mungkin saya harus segera menelpon polisi dan ambulance begitu mengetahui bahwa ayah tidak bangun-bangun sejak tidur sore dan memang tak akan bangun lagi karena sudah meninggal. Tetapi sejak menyadari kenyataan ini saya selalu berpikir bahwa saya harus memberi tahu dan minta tolong kepadamu. Mungkin juga saya linglung, saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Tolonglah saya!"Sampai di situ Mayumi tercekat keharuan dan berhenti bicara. Sampai di situ pula pikiran saya mampat. Dua kidung malam mengalun bersamaan. Lagunya pedih mengiris-iris. Burung-burung gagak mulai terdengar mengaok-ngaok di pepohonan. ***

No comments:

Post a Comment