Friday, July 1, 2011

Kurir


Cerpen: Gus tf Sakai 

 Sumber: Kompas, Edisi 09/22/2002 

 SIAL benar. Seharusnya ia tak membiarkan Parto langsung pergi. Lihatlah tingkah si satpam: menahan tubuhnya dengan ujung pentungan, memasang wajah mengancam meski tahu ia tak mungkin bakal memaksa masuk. Pikiran apakah yang ada di kepala si satpam, memperlakukan dirinya begitu rupa, tak ubahnya bagai seorang bandit?Menarik napas, tak putus asa, ia ngangakan tas yang dikepitnya. "Lihat, Pak." Disodorkannya ke hadapan si satpam. "Hanya brosur. Lembar-lembar promosi.""Tetap tidak bisa. Atau, tinggalkan di sini. Biar kami yang memasukkan."Tinggalkan di sini? Dilayangkannya pandang, ke sana; jauh ke dalam gerbang, ke jalan menuju kompleks perumahan yang dipagari jeruji besi dan kawat berduri. Samar-samar tampak pagar tembok, menjulang, berjenjang-jenjang. Dan atap, mencuat bertingkat-tingkat. Dan... kotak pos. Di manakah kotak pos mereka? Ke dalam kotak pos itulah ia mesti memasukkan brosur dan lembar-lembar promosi ini."Sini!" Si satpam menjulurkan tangan yang sebelah lagi, yang kiri. Bulat, pejal, dan gempal. Jauh lebih berotot dari yang kanan -yang mengacungkan pentungan. Hmm, pastilah satpam ini seoran kidal."Sini!"Tidak. Jika brosur ini ia serahkan, siapa bisa menjamin si satpam memang akan memasukkannya ke kotak-kotak pos itu? Jika si satpam tak memasukkan, itu artinya sama dengan mencampakkan brosur ini di jalanan. Dan jika hal itu terjadi, justru dengan demikianlah ia bisa disebut si penipu. Bandit. Menerima imbalan untuk apa yang tak pernah ia lakukan.Menghela napas, mengucapkan terima kasih, ia membalikkan tubuh. Sekilas, ditolehkannya kepala ke arah mana Parto tadi melesat. Benar-benar tak tampak lagi sosok tandem-nya itu. Kepul motornya pun tidak. Padahal, di sebelah sana - ah, jauhnya - ada kompleks perumahan lain yang, siapa tahu, satpamnya bersedia dan membolehkannya masuk.Perlahan, tapi pasti, diayunkannya langkah ke kompleks itu. Lebih ia benamkan topi. Disaputnya peluh. Panas. Debu. Di permukaan aspal, bayang atmosfer bagai menggigil. Dan di bagian punggung, bajunya, seperti biasa, mulai melengket...SEBENARNYA, sangat sering ini terjadi. Ditolak satpam. Tapi, kenapa ia selalu lupa mengatakan pada Parto agar menunggunya sejenak, memastikan satpam mengizinkan, sebelum men-drop-nya di perumahan bersangkutan? Ah, kadang, ia merasa pekerjaan rutin dan menjemukan ini membuat benaknya lumpuh. Courier, begitulah yang tercantum di kartu namanya. Berkesan gagah - karena tertulis dalam bahasa asing - padahal pada kenyataannya cuma "kurir kelas kaki" yang mengantarkan barang (lebih sering surat) atau dokumen (lebih sering brosur atau lembaran lepas promosi) ke berbagai alamat. Dan karena barang atau dokumen bagiannya melulu brosur dan lembar promosi, kotak pos-kotak pos kompleks perumahan adalah "alamat" tugasnya.Kadang, terpikir juga olehnya, kapankah ia tidak lagi di-tandem dan naik tingkat ke "kelas motor"? Duduk di boncengan Parto, sering ia bayangkan, dirinyalah yang ada di depan, membonceng kurir tandem-annya di belakang, dan kemudian men-drop-nya di sebuah kompleks perumahan pada suatu tempat entah di mana. Sungguh menyenangkan. Bukan hanya karena ia terhindar dari deraan lelah jalan kaki dan hunjaman terik Matahari, tapi lebih dari itu: karena barang antarannya adalah dari jenis yang lebih berharga.Dan, satpam - pikirannya kembali ke tadi, kenapa satpam-satpam itu begitu arogannya? Kepada orang seperti dirinya kurir kelas kaki, terasa sekali satpam-satpam itu bagai sengaja menunjukkan kekuasaan. Tetapi... ah, mungkin tidak. Satpam-satpam itu mungkin tengah berusaha menjalankan tugas. Harus waspada. Hati-hati. Siapa tahu ia memang seorang bandit, rampok, yang menyamar jadi kurir. Atau mungkin lebih tepat ia seorang "tukang gambar", memetakan lokasi, untuk kemudian muncul bersama gembongnya suatu hari, atau mungkin suatu malam, menggasak habis seluruh isi kompleks! Ah, memang mengerikan. Atau lebih gila, mungkin ia adalah seorang pengacau yang membawa dan kemudian meledakkan bom pada suatu tempat entah di mana tanpa alasan!Memang, memang mengerikan. Jadi, wajarlah kalau satpam-satpam itu bersikap begitu. Jadi wajarlah kalau kompleks-kompleks perumahan dibangun dengan "sistem pengaman" yang begitu ketat. Jeruji besi, kawat berduri, tembok tinggi, ah, sebenarnya... sebenarnya, alangkah kasihan mereka. Mereka adalah orang-orang yang tak pernah merasa aman. Di jalan, dalam mobil, apakah benak mereka juga dipenuhi bayang perampokan? Penodongan, di perempatan - aduh, Kapak Merah, pemerasan, "Pak Ogah", macet, macet yang panjang... betapa ia tiba-tiba bisa maklumi. Dan... lihatlah rumah mereka, betapa jauh di pinggir kota, tentu semata buat mendapatkan sedikit kelegaan, luput dari kebisingan.Kembali, disaputnya peluh. Memang alangkah jauh. Bahkan jarak masing-masing perumahan. Seperti ini, di sini. Mungkin ada sekilometer. Mungkin lebih. Dipisahkan tanah-tanah bekas sawah yang membotak, kerontang. Ada beberapa pohon yang tampaknya berusaha ditanam, tapi kurus. Bahkan di sana, arah ke mana samar-samar tampak jalan tol, sama sekali ranggas. Ah, atmosfer seperti apakah yang telah dengan begitu ganas menggasak kehijauan?Tiba-tiba, ia ingat kampung.Kampung yang jauh nun di luar pulau.Hamparan hijau. Kaki Gunung Lokon. Minahasa, Minahasa... betapa kadang ia tak percaya ia telah meninggalkannya. Apakah sebenarnya yang membuat ia pergi dan kemudian datang ke kota ini? Dan kota ini, kekuatan gaib apakah yang dipunyainya, yang membuat orang merelakan diri jadi apa pun, hanya demi untuk tetap bisa bertahan di dalamnya? Dan ia sendiri... jadi courier. Kurir, kelas kaki. Hanya itu yang ia dapat, yang ia bisa. Ah.Kadang, ia gembira-gembirakan diri. Seraya mengenang kampung, ia bayangkan legenda itu: legenda para dotu. Ia senang pada bagian yang mengisahkan saat kesembilan dotu diutus oleh Toar Lumimuut, nenek moyangnya, pergi ke sembilan daerah untuk membentuk sembilan suku di Minahasa. Salah seorang dotu konon kembali pulang menghadap Toar Lumimuut dan mengatakan ia tak berhasil membentuk suku di daerah yang ia tuju dan mohon diutus ke daerah lain. Ketika Toar Lumimuut menanyakan kenapa ia tak berhasil, si dotu menceritakan penduduk di daerah bersangkutan adalah kelompok manusia yang tak bisa diselamatkan. Mereka terdiri dari orang-orang kejam, buas, tak berhati nurani seperti binatang.Toar Lumimuut mengabulkan keinginan si dotu. Tapi sebelum si dotu diutus ke daerah lain, ia ditugaskan untuk kembali ke daerah bersangkutan dengan kotak tembikar. Isi kotak - yang rupanya semacam serbuk - harus ia tebarkan ke udara. Saat si dotu sampai dan menebarkan serbuk itu, terjadilah hal yang mencengangkan. Penduduk daerah bersangkutan, berubah jadi binatang.Ya, ia senang bagian itu. Kotak tembikar, itu seperti paket. Dotu, itu seperti kurir. Dan binatang? Ah! Harimau, serigala, buaya, ular, badak, kerbau....HARI ini, aih, siapa sangka ia naik tingkat ke kelas motor? Tapi tidak, tentu tak dapat dikatakan naik tingkat. Pagi tadi, ia muncul di kantor agak terlambat. Tak ada lagi siapa-siapa, tak ada Parto yang menunggunya, kecuali Nina yang tugas rangkap-rangkap - ya sekretaris ya personalia ya entah apa. Juga tak ada si bos, yang telah mengantarkan entah barang apa entah ke mana. (Si bos, seorang lelaki 40-an dengan van tua, adalah juga seorang kurir. Kantor courier service itu pun hanya berupa ruang kecil dengan tiga petak mirip lorong ke belakang, terjepit di sebuah gang.)Parto bukannya tak menunggunya. Melainkan seperti kata Nina, memang berhalangan. Dan si bos menugaskan dirinya menggantikan Parto. Menggantikan Parto - meski cuma sehari! Betapa ia tak percaya. Saat menerima kunci motor dan sebuah paket dari gadis yang sekretaris yang personalia yang entah apa lagi yang pendiam tapi cekatan itu, dadanya berdebar.Sesuatu yang lebih berharga. Bukan brosur. Bukan lembaran lepas promosi.Dibacanya alamat paket, sebuah kawasan di pusat kota. Noon express, artinya harus sampai sebelum pukul 12 siang. Hmm, masih banyak waktu.Maka, di atas motorlah ia kini, sendiri, seperti pernah dibayangkannya. Betapa ia sangat gembira. Bahagia. Seraya tancap gas, diluruskannya punggung ditegakkannya kepala, menikmati terpaan angin ke tubuhnya. Menyelip. Jalan raya dan kecepatan, betapa mengasyikkan. Lagi, ia menyelip. Menyalip. Terdengar teriakan, "Babi!"Babi? Ia menoleh ke bus kota, ke supir yang meneriakinya. Sedetik, ada ketertusukan dalam dada, tapi lalu ia lupakan. Itu sepele. Sudah biasa. Lagi pula, ini hari bahagia. Seluruh detik mestinya berharga, dan ia tidaklah terlalu tolol untuk merusaknya....TETAPI, betulkah hari bahagia? Berjam-jam ia berkeliling berputar-putar mencari alamat itu, tapi tak bertemu. Benaknya pun lalu diserbu tanya: Apakah paket ini salah menuliskan nama? Atau salah menuliskan alamat? Ada sesuatu yang janggal.Sebenarnya, sudah beberapa jam lalu ia sampai ke alamat yang dituju. Sebuah rumah besar, berarsitektur gaya Belanda, megah. Berpagar tembok, dengan jeruji besi setinggi tiga meteran, ujung-ujungnya runcing mirip mata kail. Dan tak lupa, pos penjaga. Dan dua orang satpam.Saat paket itu ia serahkan ke salah seorang satpam dan si satpam memeriksa, satpam itu mengernyitkan dahi. Salah alamat, begitu katanya. Salah alamat yang aneh. Ganjil. Alamatnya betul, tetapi nama yang tertulis di paket bukan nama si pemilik rumah. Kenapa bisa?Mungkin bukan nomor 9, tapi 4. Maka ia pun pergi ke rumah nomor 4 tetapi ternyata juga tidak. Mungkin 8, bukan 9, maka ia pun pergi ke rumah nomor 8 tapi juga tidak. Ataukah salah nama jalan? Maka jalan-jalan di seputar situ, di kawasan berkode pos sama bernomor 9 atau 4 atau 8 - ia datangi. Ternyata juga tidak. Sementara waktu telah menunjuk hampir pukul 12 (aduh, noon express)!Putus asa, ia kembali ke alamat semula. Mungkin paket ini memang bukan untuk tuan si satpam, tetapi seseorang lain di rumah itu. Siapa tahu satpam-satpam itu orang baru, tak tahu semua anggota atau kerabat dekat pemilik rumah. Tetapi, ketika ia mengemukakan kemungkinan itu kepada si satpam, wajah kedua satpam itu berubah. Bengis. Seorang mendorongnya ke luar seraya berkata, "Badak!" Satpam lain menimpal, "Kerbau!"Maka terpaksa ia kembali pergi. Sudah lewat pukul 12. Mulai ada rasa cemas. Mungkin bukan satu angka, tetapi dua (si pengirim paket mungkin alpa angka lainnya). Maka, semua nomor bersatuan atau berpuluhan 9, ia cek. Tapi... tetap tidak. Beratusan 9. Tetap juga tidak. Dan akhirnya, senja. Ia memarkir motor, terhenyak, di seberang jalan tak jauh dari rumah megah berarsitektur Belanda itu.Sungguh alangkah lelah. Fisik. Psikis.Ternyata bukan hari bahagia. Melainkan hari sial, sesial-sialnya.Di matanya, membayang wajah si bos, yang nanti tentu marah atau kecewa. Siapa tahu, tugas menggantikan Parto ini sengaja dipakai si bos untuk menguji apakah ia pantas naik ke kelas motor atau tidak. Sungguh memang sial. Dan satu lagi, dalam satu hari ini saja, tiga kali ia dimaki sebagai binatang. Babi, badak, kerbau. Ah.Dihelanya napas, dalam, lalu melayangkan pandang ke sekitar. Ia tahu hari telah senja, tetapi baru sadar senja kali ini begitu buramnya. Tembok pejal, pagar tinggi, jeruji. Ah, bukan hanya kompleks perumahan saja yang memakai sistem pengaman seperti itu. Di sini juga, banyak sekali. Ini jugakah yang menyebabkan senja, meski lampu bernyalaan di mana-mana, jadi terkesan kaku dan tak berjiwa? Dilayangkannya pandang, sekelebat, ke rumah berarsitektur Belanda itu. Ia telah akan mengalihkan pandang ketika sesuatu bagai menahannya. Apa?Ada yang berubah. Dibanding yang lain, rumah itu tampak lebih suram. Dilihat penampilannya ketika siang, mestinya kini lebih menonjol. Ataukah, karena jumlah lampu yang tak begitu banyak? Beberapa sengaja dibiarkan mati? Ah, bukan hanya itu. Diperhatikannya lebih cermat. Pos satpam! Pos satpam... tak lagi ada! Juga jeruji besi bermata kail itu! Apakah ia salah lihat?Penasaran, dihidupkannya motor. Dikendarainya pelan-pelan ke rumah bernomor 9 itu. Memang tak ada. Pos satpam itu lenyap! Dan, bukan pula hanya pagar yang berubah. Ada yang lain - mungkin juga arsitekturnya, tapi ia tak begitu ingat.Dibelokkannya motor, ke dalam pagar, yang kini rendah saja. Ia bingung. Takjub. Adakah rumah yang bisa disetel, sedemikian rupa, sehingga bentuknya di saat siang dan ketika malam jadi berbeda? Satpam itu, sudah tak ada. Jadi ia bebas. Dimatikannya mesin. Diparkirnya motor, lalu berjalan menuju teras.Ternyata, ia tak perlu mengebel atau mengetuk. Begitu tubuhnya ada di teras, sesosok lelaki besar, tinggi, berkumis dan berjenggot tebal, muncul bagai menyambut.Sedetik, ia tertegun. "Paket....""Ya, saya tahu. Telah lama saya menunggu.""Noon express. Maaf. Sejak pagi saya mencari, tapi....""Ya, saya tahu. Andalah orangnya. Kurir mana yang bisa sabar mencari sampai senja?"Lelaki ini... tahu? Apakah ia sengaja dipermainkan? Tapi ia tak peduli. Kenyataan bahwa akhirnya paket ini sampai, telah membuatnya sangat lega.Disodorkannya tanda terima. Lelaki tinggi besar itu menandatangani, bergumam, "Sembilan ratus tahun."Walau telah tak peduli, ia mendengarnya. Tak yakin. Lelaki itu seperti tahu keheranannya, mengulang, "Sembilan ratus tahun, saya menunggu. Apakah itu tak lama?"SUNGGUH lega. Hari yang tiba-tiba panjang ini, akhirnya selesai tak seperti yang ia cemaskan. Dipacunya motor. Kencang.Ia telah keluar dari jalan perumahan dan menikung ke jalan utama. Tetapi, saat itulah ia tiba-tiba terkejut. Pengendara motor yang melintas di depannya, sosoknya begitu besar. Bengkak! Dipacunya motor, mendahului. Dan... astaga! Benar, seekor badak!Ia terlongong. Akan diteriakinya siapa pun memberitahu. Tapi, ketika matanya terbentur ke sebuah sedan yang lampu dalamnya menyala, jelas sekali ia lihat si pengemudi... seekor buaya! Dialihkannya pandang ke mobil lain. Pengemudinya, seekor babi! Diamatinya angkot, metromini. Dan penumpangnya: Orangutan, singa, kera, harimau, serigala.... Barulah ia sadar, para pejalan kaki, di bawah terang-lindap pendar lampu-lampu, ternyata juga adalah para binatang. Oh!Dihentikannya motor. Terengah.Mendadak, berkelebat di kepalanya: Lelaki tinggi besar itu, paket itu. Sembilan ratus tahun! Kiranya, lelaki itu tak berkelakar, tak bercanda. Toar Lumimuut. Dotu. Kotak tembikar. Ah, mungkinkah?Paket... serbuk itu... manusia yang tak bisa diselamatkan. Sembilan ratus tahun... orang-orang kejam, buas, tak berhenti nurani. Binatang? Ah! harimau, serigala, buaya, ular, badak, kerbau.... *Payakumbuh, Agustus 2002

No comments:

Post a Comment