Friday, July 1, 2011

Taman Perdamaian Hiroshima

Cerpen: Ganda Pekasih 

 Sumber: Kompas, Edisi 03/23/2003 

 HIROSHIMA, di ambang musim dingin, pukul 3 sore, aku tiba di Tobu Hateru, atau Tobo Hotel untuk beristirahat, mungkin tidur beberapa jam di penginapan sederhana yang murah dan terjepit di antara bangunan bangunan jangkung di tengah Hiroshima ini, bisa memulihkan tenagaku. "Jangan lewatkan Hiroshima Peace Memorial Museum kalau kau masih punya waktu di Hiroshima!" terngiang ucapan rekan sekantorku Akbar sebelum aku meninggalkan Jakarta minggu lalu, kawan baikku itu pernah kuliah di Universitas Hiroshima beberapa tahun yang lampau.S>small 2small 0< aku ingin kembali secepatnya ke Indonesia, tapi sangat sayang kalau aku tidak menyempatkan diri menjenguk sisa-sisa korban bom atom dan mengunjungi taman perdamaian, tempat di mana bom atom meledak, bom yang kedahsyatannya merenggut hampir 250.000 jiwa penduduk Hiroshima.Aku hanya tertidur beberapa jam, dan terbangun ketika di ambang jendela hotel tampak langit Hiroshima berwarna kelabu menjelang malam. Aku segera menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku keluar dari kamar dan turun ke lobi, di kafe yang ada di lobi, aku memesan Cha, teh hijau khas Jepang dan hamaagu, atau hamburger.Setelah menghabiskan teh dan hamburger, aku keluar dari hotel, tapi ada seorang pria Jepang yang kulihat tadi duduk sendirian di pojok kafe ikut keluar dan mengikutiku."Aku akan mengantarkanmu ke Gedung Promosi Industri Hiroshima," katanya dengan ramah setelah dekat denganku, dia tersenyum menampakkan gigi-giginya yang kuning dan sebagian tampak hitam.Aku agak heran dengan ucapannya, untuk apa aku ke gedung yang tadi diucapkannya itu? Aku tidak punya urusan dengan promosi industri."Gedung itu satu-satunya gedung yang dibiarkan hancur sebagai saksi keganasan bom atom, berada di Taman Perdamaian, kita bisa melihatnya ke sana sekarang, tapi sebelum sampai di sana, ada baiknya kita singgah lebih dulu di Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, tempatnya lebih dekat dari sini," tegasnya, dan kembali tersenyum.Dari mana pula orang ini tahu rencanaku...? Dia pasti hanya menebak-nebak saja tadi, mungkin juga karena hotel ini banyak disinggahi oleh turis yang mau pergi ataupun pulang dari Taman Perdamaian, jadi dia sudah familiar. Mungkin juga... karena dia memang mampu membaca pikiran orang. Usianya kutaksir 50 hingga 55 tahun."Mari ikuti saya," katanya ramah dan kembali tersenyum."Baiklah," kataku.Aku pun segera mengikutinya. Dia melangkah cepat melewati para pejalan kaki lainnya. Tanpa mencurigainya aku hanya berkata dalam hati, beginilah manusia Jepang, serba cepat, fokus, dan... menjadi raksasa dunia.Setelah melewati beberapa blok bangunan, si pria yang belum sempat kutanyakan siapa namanya itu, tiba-tiba berbelok dan berhenti di depan... Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, dia menoleh ke arahku, wajahnya terlihat samar, karena dia membelakangi lampu jalanan yang baru saja menyala.Kami berjalan masuk."Rumah sakit ini dibuka bulan September 1956, sebagai pusat penyembuhan orang- orang yang terkena radiasi bom atom, pengaruh radiasi radioaktif menyebabkan leukimia, kanker, dan kebutaan," katanya.Di dalam rumah sakit, aku agak tercengang dan merasa aneh. Suasana di dalam sangat muram, asing. Berbeda dengan di luar yang modern dan terang- benderang. Di salah satu dinding yang kulewati tergantung kalender bahasa internasional disertai huruf kanji, 27 September 1956. Aku bertambah heran. Bagaimana mungkin kalender dinding itu masih dipasang sekarang.Aku dan laki-laki itu masuk ke sebuah bangsal, orang-orang jompo, laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap-cakap dan membentuk kelompok, tapi ada juga yang sedang membaca dan berbaring di tempat tidur."Sewaktu bom atom meledak, radiasi radioaktif telah menjangkau sampai lima ribu meter dari pusat ledakan, ciri utama korban, rambutnya gugur."Aku memperhatikan rambut orang-orang jompo yang tampak memang sangat jarang itu, kesemuanya dibiarkan tidak terurus apalagi dipotong, begitupun yang laki laki, panjangnya sudah sampai ke punggung. Dengan wajah mereka yang tirus dan pucat, penampilan mereka jadi lebih menyeramkan."Tapi penduduk yang berada dalam radius 1000 meter dari pusat ledakan mengalami luka yang sangat berat dan seluruhnya meninggal dalam beberapa hari."Laki-laki itu berbalik dan membawaku ke bangsal yang lain, aku mengikutinya saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya."Sementara Hiroshima masih terbakar waktu itu, dua hari kemudian, hujan turun. Hujan itu berwarna kuning pekat kehitam-hitaman, seperti teh susu. Seluruh penduduk Hiroshima kembali terkena radiasi, setiap orang yang meminum air dari sumur sakit parut sampai berhari-hari."Aku mencoba mengangguk-anggukkan kepala, tapi lidahku terasa kelu.Laki-laki itu kembali membawaku melihat ke bangsal yang lain, kini kulihat bangsal yang berisi orang-orang yang usianya sama denganku. Ya, sama denganku!? sebagian mereka terbaring dengan mata memandang hampa ke langit-langit ruangan, sebagian lagi ada yang duduk dengan menundukkan wajahnya, aku tercenung memperhatikan mereka, mereka masih muda.Guide dadakanku kembali mengajakku ke bangsal lainnya lagi. Di sini banyak wanita yang sedang hamil tua terbaring di tempat tidur, dan beberapa wanita hamil yang lain duduk duduk di lantai sambil memunguti rambut mereka yang gugur dan mengumpulkannya di tangan mereka. Dan di sebelah bangsal ini, yang dipisahkan dengan dinding kaca, tampak puluhan anak kecil dan bayi-bayi dalam inkubator sedang dirawat oleh beberapa orang suster.Aku nelangsa, trenyuh."Mereka terdiri dari beberapa golongan, yang menderita langsung radiasi radioaktif ketika bom dijatuhkan, disusul mereka yang kena seminggu kemudian, dan anak-anak kecil, serta bayi dari ibu-ibu hamil."Aku masih memandangi bangsal berisi ibu-ibu hamil yang sedang memunguti rambut mereka yang berguguran, ketika tiba-tiba laki-laki itu bergerak meninggalkanku. Aku pun seperti tersadar dan cepatcepat mengikutinya. Ternyata dia mengajakku ke luar dari rumah sakit ini lewat lorong yang membelok ke samping. Tanpa berkata-kata, dia terus bergegas meninggalkanku.Setiba di luar aku merasa lega."Hei... tunggu. Ada yang aneh, sekarang tanggal 6 Januari 2003, bom atom jatuh di Hiroshima 6 Agustus 1945, bayi bayi di dalam rumah sakit itu mestinya sekarang sudah berusia 57 tahun, dan anak anak kecil itu sekitar enam puluh tahun, kenapa mereka masih terus ada sampai sekarang?"Kudengar laki-laki itu tertawa, tapi dia tidak menghentikan jalannya yang cepat itu."Seperti yang kukatakan di hotel tadi, tidak jauh dari sini kita akan sampai di Taman Perdamaian, ada bangunan yang masih dibiarkan tetap seperti ketika diterjang bom atom, dulu gedung itu sebagai pusat Promosi Industri Kota Hiroshima," kilahnya malah berpromosi.Aku akhirnya tetap mengikuti langkahnya, bahkan aku setengah berlari untuk menyusulnya."Aku Hartoko. Anda!?""Oh... Harutoku, Harutoku, nama yang baguuusss. Aku Siode Sadamitsu, aku lahir di Hokkaido." Lengking suaranya."Tuan Siode..., siapa Anda yang sebenarnya?""Aku hanya ingin mengantarmu, tapi waktuku tidak banyak.""Aku tahu, tapi kau baik sekali.""Aku seorang pendeta Buddha.""Oh... pendeta Buddha...."Dia terus berjalan lincah, di antara kaki-kaki manusia pejalan cepat lainnya. Entah berapa lama, setelah melewati beberapa bangunan, lorong dan beberapa pintu, dia membiarkanku menyusulnya. Nafasku sedikit tersengal.Dia, Siode San, membukakan pintu belakang sebuah gedung yang sekelilingnya agak gelap, kotor, dan berdebu. Rasa penasaranku tentang apa yang akan ditunjukkan pendeta Buddha ini, seperti yang diakuinya barusan kalau dia adalah seorang pendeta, membuat langkahku jadi berani.Tapi, begitu tiba di dalam, aku terhenyak. Aku berdiri di tengah ruangan yang hancur berantakan, beberapa mayat tertimpa reruntuhan gedung bergelimpangan di sana-sini, tersiram cahaya remang lampu berwarna merah di langit-langit ruangan, lantai penuh oleh simbahan darah kering berwarma hitam, beberapa mayat yang lain ada yang hangus dengan kulit mengelupas. Siode San tampak buru-buru menyalakan hio di ujung ruangan, seketika ruangan mulai berasap dan tercium aroma wangi yang mengusir busuknya bau mayat dan amis darah.Aku masih mencoba memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan merintih dari salah satu arah tak jauh dari tempatku berdiri, aku mendatangi arah suara perempuan itu, sesampainya di sana kulihat separuh tubuh perempuan itu tertindih puing bangunan, aku mencoba menolongnya sambil aku memanggil Siode San."Siode San, kemari!"Tapi tak ada jawaban, teriakanku malah membuat perempuan itu berhenti merintih. Dari arah pintu lain di sampingku, tiba-tiba Siode San muncul dengan kedua tangannya menjepit beberapa tangkai Hio yang ujungnya menyala dan berasap melingkar-lingkar mengikuti gerakan tangan Siode, aku segera menunjuk-nunjuk mayat perempuan itu kepada Siode. Dengan kedua tangan disatukan di dadanya, Siode lalu menjalankan ritual keagamaannya di dekat mayat itu.Aku harus segera keluar dari tempat ini, pikirku. Aku ngeri, aku seperti berada di terowongan kematian. Diam-diam kutinggalkan Siode San, aku melangkah mundur ke belakang. Aku harus kembali ke pintu masuk kami tadi, tapi aku tidak bisa secepat yang kuduga menemukan pintu itu, aku bergerak lagi ke balik reruntuhan tembok dan dalam remang lampu berwarna merah, aku menemukan sebuah pintu yang tersiram cahaya terang benderang yang dipancarkan dari arah luar. Aku bergerak cepat keluar pintu cahaya itu. Setelah aku keluar dari pintu itu, aku tercengang. Aku sudah berada di taman yang indah dan terang benderang, lalu kutunggu Siode keluar menyusulku dari gedung yang rusak parah itu. Tak lama kemudian Siode San muncul di pintu cahaya itu sambil tersenyum ke arahku.Kami sampai di Tobo Hotel setengah jam kemudian dengan menumpang Densha, atau bis umum. Densha yang rutenya melewati subway itu banyak berputar sebelum kami sampai di tujuan. Di tengah perjalanan, aku tidak banyak bertanya tentang Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima atau Gedung Promosi Industri Hiroshima kepada Siode, aku membiarkan dia menceritakan tempat tempat bersejarah yang kami lewati.Sampai di hotel, Siode mengajakku duduk di tempatnya di pojok hotel tempat pertama kali dia kulihat. Dia menawariku rokok yang ada di mejanya, dan aku mengambilnya sebatang, dan menyalakannya."Harutoko... senang berkenalan dengan Anda, temui kapan saja aku di sini. Masih banyak tempat yang belum Anda lihat. Aku tinggal di hotel ini, aku suka mengantarkan orang- orang ke Taman Perdamaian atau ke mana saja di Hiroshima ini," katanya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya dan seperti lazimnya pemilik perusahaan di Hiroshima atau Jepang pada umumnya, mereka biasanya memajang foto-foto mereka di setiap ruangan. Di depanku duduk, aku baru tegas memperhatikan wajah Siode dalam bingkai foto ukuran poster yang di bawahnya terdapat pedupaan, dengan hio yang menyala dan wangi. Di bawah foto itu tertera tahun dan tanggal kelahiran. 6 Februari 1895-6 Agustus 1945.6 Agustus 1945... sekarang 6 Januari 2003.... Tiba-tiba aku ragu untuk memandang Siode yang duduk di sebelahku, pandanganku terhalang oleh asap rokok yang mengepul di udara, ketika asap rokok berkurang, aku melihat sosok Siode lewat ekor mataku, bergerak ke arah bar. Diam-diam aku bergerak meninggalkannya.PAGI hari, mentari bersinar cerah. Aku berada di taman perdamaian, memandang ke satu-satunya bangunan yang tak karuan lagi bentuknya, yang dibiarkan berdiri sampai sekarang sejak dihantam bom atom. Di bagian depan bangunan itu, ada pintu cahaya. Nama bangunan itu dulu, betul seperti apa yang dikatakan Siode San, Gedung Promosi Industri Hiroshima. Taman ini sungguh indah, pohon-pohon tumbuh subur, berbunga, berbisik dengan angin dari segenap cuaca dari musim yang datang. Ratusan ekor burung merpati beterbangan dengan bebas, turis turis asing berjalan di sekitar, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, mereka memotret sambil bercakap-cakap. Dari Taman Perdamaian ini, seharusnya aku ke Hiroshima Peace Memorial Museum seperti yang diingatkan rekan sekantorku, Akbar. Di sana kita akan bisa melihat lebih lengkap dan lebih mengerikan apa yang terjadi ketika itu, tapi aku sudah tidak ada waktu lagi ke sana, aku harus kembali ke Jakarta, lagipula Siode Sansudah mengajakkujalan-jalan. ***   

No comments:

Post a Comment