Friday, July 1, 2011

Jangan Melawan Rembulan

Cerpen: Eka Budianta

 Sumber: Kompas, Edisi 12/29/2002

 AKHIRNYA tahun 2003 itu datang juga. Tahun yang sangat ditakuti, dan sekaligus dibanggakan. Tahun yang sering disitir Ayah untuk memulai ceramah. Atau menutup berbagai lokakarya. Tahun ketika perdagangan bersinar bebas di seantero Asia Tenggara.Pada tahun 2003," kata Ayah, "orang yang tidak bisa berbahasa Inggris akan mati." Pada tahun 2003, katanya lagi, dokter gigi Filipina akan datang ke desa-desa di seluruh pelosok negeri. Tukang-tukang kayu dari Jepara, Rembang, dan Pati akan panen order dari Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2003, katanya lagi dan lagi, karier Anda sekalian bisa lebih suram, tapi bisa juga lebih cemerlang seperti sinar rembulan."Makanya jangan melawan Rembulan. Turuti saja panggilan sinarnya, meskipun mungkin ia mengantarmu ke lorong-lorong yang paling tidak engkau sukai," nasihat Ayah seperti berpuisi.Aneh banget Ayah itu. Sepeninggal pohon siwalan yang dulu menaungi rumah kami, pandangannya melulu terpancang pada Bulan. Bukan hanya Bulan, tapi juga tahun 2003 itu. "Lontar telah pergi. Kini komputer menggantikan perannya," ujarnya kembali berpuisi. Ayah percaya bahwa tanpa pohon siwalan yang menghasilkan daun tal atau lontar, seluruh Asia Tenggara akan gelap gulita.Bukan hanya gelap gulita, tapi hitam legam di panggung sejarah. Hitam seperti masa lalu penjahat tak dikenal. Kelam seperti masa depan pengebom bunuh diri. Pendeknya, hidup ini perlu penerangan. Dan yang paling terbukti mampu menerangi jalan hidup kita, adalah tulisan. Dulu tulisan dititipkan pada daun lontar. Sekarang pada layar monitor, pada hard disk, pada disket, pada cluster informasi dan memori dalam sistem komputer.Makanya, cintamu juga harus lebih canggih. Cinta pada pohon, cinta pada anak-anak, cinta pada keindahan, cinta pada kebenaran, cinta pada Tanah Air, cinta pada Ibu, dan cinta pada pengetahuan. Begitu nasihat Ayah terus nyerocos dalam mobil sepulang dari pidato di Gedung Joang. Kesehatannya tampak terganggu. Maklum sudah tua dan mengidap darah tinggi.Aku sengaja mendampinginya. Sepeninggal lontar, semangat hidupnya seperti menggelegak. Apakah gara-gara rumah kami jadi tersiram sinar Bulan lebih sempurna? Dulu, ada kalanya rumah kami ternaungi bayang-bayang pohon tua itu. Dulu, hari-hari kami seperti lebih teduh. Matahari tidak langsung memancar dari langit. Pohon lontar kami menyambut panasnya lebih dulu.Namun, pohon lontar itu, seperti pohon-pohon lain di seluruh muka Bumi, akan mati. Pohon yang bersejarah maupun tidak bersejarah, berbuah maupun tidak berbuah, semua akan pergi meninggalkan manusia yang menanamnya atau tidak menanamnya. Termasuk pohon lontar kebanggaan keluarga kami.Borassus flabellifer. Itulah nama Latinnya. Ayah mengajarkan nama-nama Latin untuk setiap hewan dan tumbuhan yang diperkenalkan pada kami. Bukan karena beliau guru biologi atau ahli botani. Bukan. Semata-mata karena beliau ingin kami punya wawasan dunia. Setiap benda itu, katanya, punya karakter lokal dan manfaat lokal. Tapi, juga punya karakter universal. Universalitas ini yang penting, kata Ayah. Makanya kami diperkenalkan dengan Borassus flabellifer, pohon tal yang tumbuh 20 meter di depan rumah kami. Yang daunnya berbentuk kipas, yang buahnya segar, yang bunganya bisa jadi obat sekaligus bisa disadap menjadi tuak beralkohol. Ya, seperti yang semua sudah tahu, itulah pohon tal, siwalan alias lontar, kebanggaan keluarga kami. ***SEPULANG pidato, Ayah biasanya menatap pohon itu dari jendela. Seolah-olah bersyukur. Seolah-olah hendak berterima kasih bahwa pohon lontar telah menjadi inspirasinya. Tetapi, sekarang pohon itu tak ada lagi. Tinggal sinar rembulan dengan leluasa masuk ke kamar utama, melalui jendela yang terbuka. Ayah tidak berdiri di sana. Ayah berbaring dengan napas tersengal-sengal.Anak-anaknya berkumpul. Mungkin malam ini adalah malam terakhir buat Ayah. Kami tak mau mengecewakan hatinya. Tiga anaknya berkumpul. Ya, tiga anak-anak lontar yang setia. Kini menunggui Ayah, seolah-olah akan mendengarkan pidatonya yang terakhir.Sepeninggal pohon lontar, Ayah memang lebih sering bicara sendiri. Tahun 2003 sudah datang. Ayah bergumam. Seolah-olah begitu pentingnya tahun itu. Seolah-olah tahun itu akan mengubah segalanya. Pasar bebas di seantero Asia Tenggara. Padahal, banyak orang belum siap. Banyak yang belum bisa berbahasa Inggris. Belum mengerti pasar modal, fluktuasi harga, maupun indeks gabungan harga saham.Pak Haji Sidik yang paling paham harga beras dan sejarah produksi padi di kabupaten Klaten pun, belum pernah bicara. Ia tidak mengajukan rancang tindak apa-apa. Tak ada action plan. Tak ada cetak biru, blue print, maupun sekadar resep untuk mengantisipasi AFTA. Ia cuma melayani dan melayani. Ia menggiling beras untuk petani setempat. Ia mentraktir tamu-tamu yang datang ke rumahnya, baik sipil maupun militer, pribumi maupun Tionghoa.Ayah berteman dengan Pak Haji Sidik. Ayah berteman dengan Insinyur Sulistio. Apakah mereka harus dikabari, bahwa ada kemungkinan Ayah berangkat malam ini? Berangkat dalam tanda petik, tentunya. Napasnya semakin jarang. Ia tidak mungkin menghabiskan tahun 2003 dan seterusnya. Ia akan menyusul pohon lontar, yang telah duluan meninggalkan kami."Jangan melawan sinar rembulan," Ayah mengigau lagi. Malam itu bulan bersinar sangat terang. Bukan hanya di jalan tempat Ayah bersepeda pulang dari rapat di kecamatan. Tapi, juga di jendela kamar Tante Yetti, guru sekolah dasar luar-biasa. Tante Yetti adalah seorang pengagum Ayah. Matanya bersinar-sinar setiap kali melihat ayah kami. Semua anak Ibu tahu hal itu.Dan entah kenapa malam itu Ayah pulang larut sekali. Anak-anak sudah tidur. Begitu juga pohon lontar di muka pintu yang kerjanya menampung sinar rembulan dan matahari. Semua sudah terlelap dalam pangkuan alam semesta. Dini hari betul, aku terbangun, mendengar Ayah memasukkan sepeda, lalu sunyi lagi. Seperti ada peristiwa besar yang harus dikuburkan di sini."Ibumu tahu, ibumu tahu...," Ayah mengigau lagi. Tante Yetti itu seperti bunga tapak dara. Ia bisa tumbuh di mana saja. Meskipun jalanan berbatu, bahkan di semen sekalipun. Ia bisa tumbuh dan berbunga di celah-celahnya. Dalam perjalanan panjang hidup ini, Ayah tak bisa menolak tumbuhnya. Ya, selembar tapak dara yang tumbuh di jalan panjang, di bawah naungan pohon siwalan yang terlalu tinggi, dan terlalu merdeka.***MALAM sudah larut. Ayah tampak sedikit tenang. Napasnya normal. Air mukanya tidak pucat lagi. Tadi mungkin hanya terlalu bersemangat, atau mungkin juga kecapaian. Aliran darah dan pernapasannya terganggu. Atau gara-gara melihat tapak dara yang lain. Begitu banyak tapak dara di Bumi ini. Bukan hanya tapak dara, juga tapak liman dan tempuyung. Semua tumbuh-tumbuhan cantik yang tiba-tiba suka menghadang jalan kita.Tapak dara (Vinca rosea) adalah tumbuhan penumpas kanker payudara. Masyarakat Bali memanggilnya kembang sari cina. Akarnya bisa dijadikan obat pembersih darah dan penawar racun. Tidak mengherankan Ayah jatuh cinta pada obat kanker itu. Moralnya: jangan pandang enteng tanaman liar di sepanjang hidup kita. Sekali dilirik, bisa teringat selamanya.Begitu juga tapak liman (Elephantopus scaber). Daun tanaman liar ini bisa dijadikan tonik atau penguat, obat batuk, dan nyeri perut. Aku teringat perempuan tinggi, elegan, anggun, yang pada suatu hari datang ke kantor Ayah. Katanya mau mengembalikan buku Ayah yang terbawa olehnya. Tapi, aku curiga, mengapa harum parfumnya sama seperti yang tercium pada Ayah sepulang dari sebuah seminar?Tapak liman, itulah ingatanku pada Tante Lestari dari Cibodas. Ayah memperkenalkan tante itu sebagai istri seorang mandor perkebunan kopi, yang sudah punya tiga orang anak, semua laki-laki. Tapi malam ini, Ayah seperti sedang bermimpi ketika menyebut-nyebut nama Lestari. Ia seperti minta maaf karena tidak menerangkan apa saja manfaat tumbuhan di pinggir lapangan ini.Hidup ini seperti sebuah lapangan, taman, kebun, atau mungkin hutan bagi Ayah. Setiap orang punya perlambang sendiri. Aku sering dipanggilnya sebagai pohon manggis. Garcinia porecta! Manggis hitam, katanya. Memang ada banyak macam manggis. Ada Garcinia mangostana, ada Garcinia dulcis. Tapi, yang terakhir itu bukan manggis biasa, orang Pasar Minggu memanggilnya mundu.Aku bangga menjadi pohon manggis bagi ayahku. Batangnya kuat. Daunnya tebal, kukuh, berkilat-kilat. Ramah pada Matahari dan tidak takut pada sinar Rembulan. Ayah mengajari kami hidup tekun, tumbuh rajin, berkembang, dan berbuah. Semua dilakukan dengan senang hati, dan seindah-indahnya. Lewat tengah malam, sepertinya semua baik. Satu per satu, kami tidur di sekeliling Ayah.Namun, kira-kira pukul empat pagi, aku terbangun. Ayah seperti batuk keras sekali. Napasnya kembali tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Aku membangunkan adik-adikku. Ayah harus dibawa ke unit gawat darurat. Rumah sakit mana saja. Sekarang juga. Kerongkongnya mengeluarkan suara nyeri. Bukan nyeri, tapi menyeramkan. Pencipta alam, lindungilah Ayah kami.***AYAH adalah sebatang palem yang lain. Mungkin juga lontar, mungkin juga kurma. Atau kelapa. Terserah pada kami. Ia bisa jadi palem raja, sadeng, kelapa sawit, atau palem puteri. Yang terang batangnya lurus ke angkasa. Buahnya banyak, kami panggil suka-suka kami. Kalau sedang pelit, ia mirip palem raja. Kalau sedang pemurah, ia adalah nyiur yang amat lebat buahnya.Sayangnya, sepeninggal lontar ia banyak pidato. Ia mengingatkan orang pada AFTA. Entah itu Asean Free Trade Agreement. Entah pula Association of Temperate Agroforestry. Begitu banyak hal disingkat AFTA. Termasuk di antaranya Australian Federation of Travel Agents, dan American Family Therapy Academy. Yang terakhir ini sebuah lembaga nirlaba, berpusat di Miami Florida, sejak 1977. Tujuannya mengembangkan pemikiran sistematis dalam membangun hidup berkeluarga, terkait dengan pemahaman ekologi.Aku senang Ayah banyak membaca. Sejak ada komputer, kegemarannya makin berkobar-kobar. Komputer adalah perpustakaan paling praktis baginya. Melalui Internet, Ayah bisa mengunjungi berbagai pusat kajian ilmiah, membaca berbagai koran dan majalah, bahkan mencari kutipan dari bermacam buku. Tidak mengherankan ia menjadi semakin kaya dan bernas pada akhir hidupnya.Memang begitulah yang kami rindukan pada setiap manusia Indonesia. Makin tua makin rajin belajar, makin ingin tahu. Makin bersungguh-sungguh dalam memahami dan menggali makna kehidupan. Ayah telah memberi contoh dengan sebaik-baiknya. "Yang tidak bisa berbahasa Inggris, sebaiknya mati saja pada tahun 2003," katanya pada suatu ceramah kepada anak-anak muda.Ayah kecewa pada minat belajar bahasa asing yang rapuh, dan nyaris tak berkobar di antara para remaja. Bahasa itu, menurut ayahku, tidak bisa diajarkan. Bahasa itu harus dipelajari. Meskipun sepuluh tahun tinggal di Bandung, kalau tidak mau belajar bahasa Sunda, tetap saja tidak bisa. Sebaliknya, meskipun tinggal di dusun terpencil, bila rajin buka kamus, kita bisa tahu nama Latin semua satwa dan tanaman.***PUKUL setengah enam, ketika matahari terbit, Ayah menghembuskan napas terakhirnya. Kalimatnya yang penghabisan kami catat, persis seperti tertulis di sini, "Jangan melawan Rembulan." Ayah seolah-olah ingin berpesan agar kami tidak memusuhi Ibu. Kami harus selalu mendengarkan Ibu. Kami tidak boleh berargumen apa pun, bila Rembulan bicara.Aneh, sekali! Ibu bukan Rembulan, tapi siwalan, Borassus flabellifer yang kuat, cantik dan setia. Mungkin Ayah lupa. Pohon lontar yang sangat dicintainya itu sudah pergi dulu. Atau ada "rembulan" beneran, barangkali. Mengapa Ayah memanggil rembulan sebagai Ibu? Ibu Presiden Megawati? Ah, siapa pun Rrembulan, siapa yang mau melawan?Yang terang, aku, kakak dan adikku, anak-anak siwalan ini, kini menjadi yatim piatu. Tetapi, itu tidak menghalangi kami tumbuh dan terus berkembang. Termasuk kalau kami ingin menjadi pohon-pohon yang lain. Aku pohon manggis hitam, kakak memilih jadi asam jawa, dan si kecil, yang bungsu adalah pohon salam. Ia pohon asli Indonesia. Nama latinnya Syzygium pollyanthum, tingginya bisa 25 meter, teguh dalam badai, seperti ibunya.Si pohon asam jawa, Tamarindus indica, mirip seperti Ayah. Ia sibuk dengan dunianya sendiri. Dunia ilmu pengetahuan dan kemerdekaan. Ia tidak takut cahaya Rembulan. Ia terus tumbuh ke langit, ada atau tidak ada AFTA, perdagangan bebas di seantero Asia Tenggara. Ia mendengar sisi lain pesan Ayah. Katanya juga jelas dan tegas, "Jangan takut pada hutan, ada atau tidak ada Rembulan."(Sebagai ziarah abadi, untuk Muhammad Saleh Kismadi, yang gugur sebelum tahun 2003)

No comments:

Post a Comment