Friday, July 1, 2011

Kembalinya Pangeran Kelelawar


Cerpen: Bre Redana 

 Sumber: Kompas, Edisi 11/03/2002 

 MALAM kelam memun caki sensasi kembalinya Pangeran Kelelawar mengaduk-aduk imajinasi dalam alam gelap yang memeliharanya. Sayapnya terbentang tiada terkatakan lebarnya disangga tulang-tulang yang kuat, mengepak pelan tanpa suara menembus gelap. Tak ada yang bisa melihatnya, namun siapa saja diam-diam menangkap tanda-tanda kehadirannya. Sungguh ketiadaan yang menggetarkan.... Semua orang kemudian berkasak-kusuk dan berbisik-bisik: wanita itu harus diselamatkan!Angin bersiut. Nosferatu... Kain putih korden jendela bergerak-gerak. Siapa mampu menahan Pangeran Kelelawar? Kegelapan menyembunyikan segala misteri mengenai Pangeran Kelelawar dan wanita yang antara rindu, ingin tahu, dan gentar, terus menunggunya. Kegelapan menyembunyikan sesuatu yang dengan sebenarnya dan senyatanya-maksudnya senyatanya adalah nyata sebatas alam khayal dunia kegelapan Pangeran Kelelawar dan dalam cerita ini-wanita itu telah disetubuhinya."Katakan pada saya bagaimana kamu melihatnya? Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya mereka yang ingin menyelamatkan atau berpretensi menyelamatkan si wanita. Kita sudah tidak bisa lagi mempercayai niat mulia. Pangeran Kelelawar telah menyebarkan benih ketidakpercayaan, kecemburuan, kegentaran, ketidakberdayaan."Saya telah mendengar tentang dia berkali-kali. Lalu di puncak purnama tanggal lima belas bulan kesepuluh yang tahun ini jatuh pada awal September, ia benar-benar datang. Kehadirannya mula-mula hanya berupa suara, menggema dari dinding-dinding rumahku berupa suara yang serba tahu tentang aku, tentang ayahku yang telah tiada yang dia ketahui semua riwayat kesenimanannya, serta semua celah mengenai diriku yang belum digarap oleh ayahku, yang dengan tegasnya dia katakan itu harus dikembangkan...," wanita ini bercerita dengan suara bergetar, dengan tatapan mata bercampur antara harapan dan ketakutan.Si pretensius mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Diperhatikannya dengan saksama wanita itu. Pantas, dia kelihatan begitu cantik belakangan ini, meski agak pucat.... Begitu pikirnya. Rupanya ini karena campur tangan Pangeran Kelelawar....Lukisan cat minyak dengan tarikh tahun 1957 tergantung di dinding. Itu lukisan ayahnya yang sering diceritakannya. Apa yang tergambar di rumah ini sebenarnya melukiskan keseluruhan wanita ini yang serba apa adanya. Dia tampak tak risau dengan beberapa bagian rumah yang belum selesai pembangunannya. Belum selesai. Atau memang tak pernah terselesaikan. Langit-langit rumah dibiarkan telanjang tanpa plafon, menampakkan semen cor dari lantai di atasnya, berikut kabel listrik menyilang di sana-sini. Ruang atas katanya memang belum diapa-apakan, gelap, dijadikan gudang, yang katanya dalam setahun pun belum tentu ia menginjakkan kakinya. Ini suasana Gothic...Wanita itu menghisap rokok tanpa henti. Ketika korek api habis dan tak satu pun pemantik ditemukan, ia bolak-balik menuju dapur, menyalakan kompor listrik hanya untuk mendapatkan letikan api untuk menyalakan rokok."Rahmat, jawaban atas doaku, ataukah semata-mata gangguan dan cobaankah sebenarnya makna kehadirannya?" wanita ini bicara sendiri. Asap rokok mengepul dari bibirnya.Tiba-tiba angin malam seperti pukulan terpendam yang dia curigai berasal dari kepak sayap di kegelapan berhembus masuk ruangan. Mata wanita ini melihat kiri-kanan dengan kecemasan. Jantungnya berdegup-degup. Pangeran Kelelawar? Itukah kau? Di mana kau? ***TIDAK, tidak... Anugerah atau kutukan aku sama-sama tak bisa mengelakkannya. Demi segala roh kegelapan aku berani bersaksi matanya begitu sendu menatapku. Rambutnya panjang, terlihat kusut-masai, namun aku terperanjat luar biasa ketika tangannya membawa tanganku untuk menyentuhnya. Rambut itu begitu lembut, tidak kering tidak lembab, seperti benang sutera mengurai satu-satu tidak ada yang kusut apalagi gimbal. "Pejamkan, pejamkan matamu kekasihku...," kata Pangeran Kelelawar lembut mengandung sihir. "Tutup matamu..."Aku-maksud saya wanita kita ini-memejamkan matanya.Pangeran Kelelawar melanjutkan bisikannya, "Tutup, tutup matamu, karena matamu hanya akan melihat kenyataan. ...dan kenyataan bukanlah sesuatu yang ingin kita lihat. Dalam kegelapan, lebih mudah bagi kita untuk berpura-pura melihat kenyataan sesuai yang kita impikan. Mari, masuk dalam dunia kegelapanku."Wanita ini merasa seperti dibawa bersampan, mengapung di atas sungai yang tenang. Dengan mata terpejam, ia serahkan dirinya bulat-bulat kepada pangerannya. Sesekali ia mendesah sembari menggigit-gigit jari-tetap dengan mata terpejam-ketika himpitan Pangeran Kelelawar makin menyesakkan dadanya.Aaaaaahhhh..... Wanita kita menjerit, tersadar dari mimpinya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dadanya turun naik. Setelah agak tenang, baru dia menyalakan rokok, menyandarkan diri di sandaran tempat tidur, sambil menutupi tubuhnya yang telanjang bulat dengan seprei putih.Pengalaman macam apakah ini? Dunia macam apakah ini? Pikirannya makin dihantui kecemasan. Sesuatu yang nyata atau tidak nyatakah sebenarnya kau, Pangeran Kelelawar?***"KAMU bermimpi," komentar mereka yang ingin menyelamatkan atau berpretensi menyelamatkan wanita itu. Akan tetapi, apa daya mereka?Kegelapan menyimpan misteri yang tak pernah terpecahkan. Datang setiap kali, seribu kali, sejuta kali, semua disertai sejuta kali tipu daya yang mengecoh siapa saja yang coba mengotak-atik misteri tersebut. Jangankan menangkap dan mengadilinya, bahkan sekadar memergokinya saja tak ada yang bisa. Tak jelas, adakah yang tengah kita bicarakan ini figur yang begitu penuh cinta dan bersahabat seperti diceritakan wanita itu-yang seolah bisa diajak minum kopi sore-sore atau minum bir dan wine malam-malam-ataukah anak kandung kejahatan yang menyandang kutuk sejak lahir."Kau perlu pastor," yang lain lagi memberi nasihat, demi memperhatikan bahwa wanita itu mengenakan anting berbentuk salib."Dia berada di dimensi yang berbeda dari yang serba formal," jawabnya."Kalau begitu kau perlu dukun, paranormal, atau...""Dia suka menertawakan mereka..."Belum selesai wanita itu berkata-kata, tiba-tiba dinding rumah seperti bergetar. Siapa pun kali ini bisa menangkap getaran itu. Suara tawa meledak.Hua-ha-ha-ha....***DEMIKIANLAH, begitu sulit bagi wanita itu untuk bisa membedakan mana nyata dan mana tidak nyata. Kadang kehadiran Pangeran Kelelawar begitu nyata, seperti ledakan tawanya tadi. Pada kali lain, keberadaan Pangeran Kelelawar sangat pantas diragukan. Dia tak lebih seperti bayang-bayang malam.Adakah Pangeran Kelelawar hanya ada dalam benaknya, benak saya, benak Anda? Kehadiran Pangeran Kelelawar telah membikin persoalan bagi-nya bukan saja dalam teka-teki mana nyata mana tidak nyata, tetapi juga keraguan akan rahmat atau kutukan tadi, kebahagiaan atau kecemasan, kepastian atau ketidak-pastian, senyum atau tangis, dan seterusnya.Diakui berkali-kali oleh wanita itu, setiap kali dia bercengkerama dengan Pangeran Kelelawar, muncul kebahagiaan luar biasa. Hatinya berbuncah-buncah, bahkan bisa tak terkontrol. Hanya saja, ketika ia melambung tinggi dalam tawa yang belum pernah selepas itu sepanjang hidupnya, ia akui ia tiba-tiba ingin menangis."Aku takut ditinggalkannya," katanya.Aneh, kamu mengaku takut atas kedatangannya, pada saat sama kamu takut atas kepergiannya?Wanita itu diam seribu bahasa. Menunduk. Rambutnya yang hitam dalam potongan shaggy, sebagian menutupi kening. Mukanya-dengan bulu-bulu halus di depan daun telinga-kelihatan kecil dengan potongan rambut semacam itu. Adakah aku harus menerima saja sebagai nasib, sebagai sesuatu yang apa adanya saja, mengenai cerita tentang Pangeran Kelelawar itu? Sepanjang waktu, sepanjang sejarah, selalu hidup cerita semacam itu. Diperlukankah resah yang berlebihan?***LAMA-lama, wanita ini bisa berdamai dengan segala kesimpulannya sendiri yang serba sederhana. Dengan itu pula, bayangan Pangeran Kelelawar-nya tidaklah semenggetarkan masa-masa sebelumnya.Lalu, tibalah sesuatu yang nyata-setidaknya nyata bagi wanita itu. Dia menemukan pasangan hidupnya. Bukan pangeran dari alam kegelapan yang membingungkan otaknya dan sempat membuat dirinya ragu atas kewarasannya sendiri, melainkan pria biasa, berdarah-daging, warga negara Australia, buruh tambang di Wollongong. Wanita ini kemudian dibawa pindah ke Wollongong, kawasan yang sepi yang menjadi bagian dari New South Wales, Australia. Tak banyak yang bisa diceritakan di situ, selain hidup yang rutin, memasak, menjaga rumah, menunggu suami pulang. Pada waktu-waktu tertentu, dia bisa pulang ke Indonesia, berlibur ke Bali. Di pulau yang selalu cantik itu sesekali bayangan Pangeran Kelelawar berkelebat, tapi dia tak takut lagi.Taman Ayu, Dps, 2002

No comments:

Post a Comment