Friday, July 1, 2011

Perempuan di Layar Maya


 Cerpen: Fakhrunnas MA Jabbar 

 Sumber: Kompas, Edisi 02/10/2002 

 + Namaku, Je! Perempuan. 25 tahun. Sekretaris.Cukup?IA terperangah ketika menatap sederetan kata-kata yang muncul di layar komputer itu. Luar biasa. Padahal, ia baru saja secara acak meng-klik sebuah alamat e-mail yang sama sekali tak dikenalnya. Ia hanya iseng. Hanya ingin berkomunikasi. Ingin ngobrol dengan seseorang yang asing. Entah siapa pun dia. Ia ingin melompati tembok kebuntuan setelah berbulan-bulan tak menemukan jalan keluar. Ia ingin keluar dari sergapan kebosanan.Ia kini tiba-tiba jadi bosan politik. Meski kabinet pemerintahan, baru saja diumumkan. Ia merasa lelah menatap layar kaca yang telah mempingpong rakyat. Ia jenuh melihat pergerakan nilai rupiah yang turun-naik begitu tajam bagaikan gelombang tsunamis. Ia juga bosan kriminal. Bosan pembantaian orang-orang tak berdosa. Bosan juga menyaksikan maling yang dibakar massa hidup-hidup. Sementara koruptor besar yang telah memalingi uang rakyat dalam triliunan, dibiarkan bebas berkeliaran. Ia jadi bosan basa-basi yang membelenggu akal-sehat. Segalanya terdedah tanpa batas di layar kaca. Di halaman-halaman suratkabar dan majalah. Di tengah rumah. Di lapangan. Di pasar. Di mana-mana.Bagai kapal kini, ia ingin berlayar meninggalkan derrmaga. Ia ingin mengharungi samudera pengembaraan tak bertepi. Bagai burung, ia ingin terbang sejauh-jauhnya meninggalkan sarang yang dingin. Bagai pertapa ia ingin keluar dari ceruk goa terdalam dan sederetan stalaktit dan stalakmit. Ia ingin bebas dari kekangan kehidupan yang penuh rambu-rambu. Karenanya, ia butuh seseorang. Bukan orang yang selama ini sudah dikenal dekat. Bukan teman kantor. Bukan teman sehobi di lapangan golf. Bukan teman kencan di diskotik. Bukan juga anak, istri, orangtua, saudara. Ya, siapa pun mereka.+ Apa kabarmu?Lagi-lagi ia dihardik oleh seseorang yang menyebut dirinya 'Je' di layar maya itu. Matanya jadi berkedip-kedip. Jadi berkaca-kaca. Antara ingin menjawab dan takjub. Ia tak membayangkan kebuntuannya berubah wujud jadi begini. Bila dijawab, sebaiknya ia harus mengatakan apa? Padahal ia ingin lari dari basa-basi yang telah menimbunnya di kuburan imajinasinya sendiri. Ia khawatir bakal terperangkap lagi dalam kebiasaan dan keseharian. Ia tak inginkan pengulangan-pengulangan yang penuh basa-basi. Ia ingin sesuatu yang lain dan tak biasa.+ Sungguh kamu membutuhkanku?Ia terdesak. Pertanyaan Je yang terakhir ini benar-benar membuatnya terkepung di dalam kebingungan. Antara ya dan tiada. Antara keisengan dan kesungguhan. Antara sadar dan bermimpi. Antara realita dan alam maya. Ia masih takut bila obrolan di layar maya itu akan menyeretnya pada kebiasaan-kebiasaan.+ Hai, bajingan! Dengar nggak, lu?Makian yang muncul di layar komputer dengan huruf berukuran besar itu benar-benar menyadarkannya. Ia merasa tertantang. Barangkali inilah sesuatu yang lain. Sesuatu yang tak pernah ditemukannya di tengah rumah, kantor atau lapangan golf. Sungguh, ia tertantang.Matanya sempat menerawang jauh ke alunan gelombang yang memutih di tengah pergumulan laut. Dari kawasan off-shore, di lokasi pengeboran minyak lepas pantai, di tengah-tengah permainan ombak Selat Melaka itulah ia bergulat dengan kesendirian dan kesepiannya. Lama ia terperangah.Kemudian ia mulai mematut-matut jemarinya di keyboard yang sejak tadi terbentang. Pikirannya tanpa di bawah kendalinya bisa saja menerawang tiba-tiba, tapi di benaknya sudah terkumpul jutaan jawaban bagaikan laron yang mengelilingi sebuah lampu pijar di kegelapan. Ia benar-benar tertantang untuk mengembara di layar maya itu. Seseorang telah datang begitu tiba-tiba. Tanpa direkayasa. Tanpa direncanakan. Hai...apa kabar? Aku ingin ngobrol aja...+ Kenapa tak bilang dari tadi? Aku sangat bosan menunggu. Apa maumu sekarang?Ya, aku sudah bilang... aku mau ngobrol aja. + Aku sudah perkenalkan diri. Tapi kamu?Ya, ya... aku tahu, Aku keliru. Aku sudah mulai... tapi buntu.OK, kamu siapa?Ia langsung memperkenalkan dirinya. Ia bercerita panjang lebar kenapa ia terperangkap dalam chatting dadakan begitu. Sungguh, ia tak menargetkan siapa yang harus melayaninya ngobrol. Kalau kebetulan Je yang menanggapi kegetiran jiwanya yang sudah kerontang sejak lama, barangkali itulah jodohnya. Ia bagaikan membuang keluh-kesahnya bagaikan kupu-kupu yang berterbangan lepas dari kepompongnya. Ia jadi kupu-kupu yang penuh birahi mencari kupu-kupu yang lain. Sekarang, seekor kupu-kupu itu sudah ada terjepit di antara dua jarinya. Ia ingin kupu-kupu itu tak meronta.Ia ingin melupakan jam kantor di sebuah menara kontrol di tengah areal pertambangan. Selama ini ia hanya berhadapan dengan layar monitor yang mengalirkan angka-angka kuantum yang menyimbolkan proses produksi sebuah pabrik tambang. Sekarang ia mencoba lari dari kejaran angka-angka yang membosankan itu.Tiga jam lebih ngobrol di layar maya itu, ia jadi kelelahan juga. Ia tertidur di depan komputer yang masih menyala. Saat terjaga beberapa saat kemudian, layar komputer itu telah kosong. Tak ada lagi Je di situ. Tak ada lagi kata-kata baru. Tak ada sesiapa yang menyergap lontaran pertanyaannya.Ia merasa kehilangan momentum emas di dalam hidupnya. Ia kehilangan sebuah keceriaan yang telah dibangkitkan oleh seorang bernama Je. Ia ingin melanjutkan perbincangan yang tak biasa itu. Tapi Je-barangkali-juga telah tertidur pulas di seberang sana. Ia sangat menantikan hardikan dan kata-kata galak dari Je yang tiba-tiba merangkak masuk ke dalam bion-bion otaknya.Hari-harinya jadi kosong seketika. Sepekan menunggu, Je tak membalas e-mailnya. Sebulan berlalu, Je hanya muncul dalam bayang-bayang yang keruh menari-nari dalam benaknya. Je yang semula jadi setrum yang membangkitkan kegairahan batinnya kini berubah jadi monster yang siap menelannya kapan saja. Ia terpojok setelah tersambar kilatan cahaya Je. Sungguh, ia tak tahu siapa Je sebenarnya. Bisa jadi, Je seorang lelaki bersosok besar dengan kumis panjang yang secara iseng menyamar jadi perempuan. Apalagi, sergahan-sergahan Je yang muncul di layar maya itu bagai mengandung semangat maskulin-nya laki-laki. Lebih lagi, nama Je tidak membersitkan sentimen gender. Artinya, siapa pun, lelaki atau perempuan berhak menggunakan nama Je. Ya, ia jadi ragu... jangan-jangan Je itu seorang laki-laki. Dan seketika ia jadi benci Je. Dalam benaknya ia merasa dibohongi Je. Ia merasa telah menghabiskan energi begitu besar untuk menumbuhkan rasa simpati pada Je yang telah menyahuti salamnya. Dalam hatinya, ia hanya bisa memaki-maki Je.Siang benderang. Matahari bagai terbelalak di balik serabut awan. Ia menatap kosong ke layar maya. Ia berharap, Je bisa muncul barang sejenak. Lebih sebulan terakhir ia berkeringat untuk mematut-matut siapa Je. Meski antara ragu dan penuh ingin tahu, kadang-kadang ia masih membayangkan Je benar-benar seorang perempuan cantik, berlesung pipit, manja dan sedikit centil. Tapi di belahan hatinya yang lain, ia jadi ragu juga. Jangan-jangan Je benar-benar seorang lelaki jantan yang mengaku-aku sebagai perempuan. Namanya juga iseng. Siapa pun bisa berbuat iseng kapan dan di mana saja. Tapi ia begitu sedih bila dirinya menjadi korban keisengan semacam itu.Tit! Saat layar maya itu masih terbuka, sebuah mail muncul di deretan inbox. Darahnya terkesiap. Ia membuka mail itu segera. Benar Je muncul dengan sebuah kalimat :+ Bosan? Penasaran menunggu, ya?Ya... kamu kemana aja?+ Capek aku. Aku mengembara ke dalam benakmu. Aku bermain-main di pelupuk matamu. Aku tahu, kamu begitu marah. Begitu penasaran. Begitu membenciku. Ya, ya. Aku merasakan getaranmu. Tapi bagai angin, kurasakan ada tapi tak bisa kugapai. Aku jadi rindu kamu.+ Ah, gombal kamu. Lelaki bila ada maunya, bisa macam-macam. Bisa gombal, gitu.Ia terhenyak seketika. Ia tersadar bahwa pelarian batinnya pada akhirnya bakal terperangkap pada kebiasaan dan kesehariaan. Sebagai lelaki, dia digombalkan seorang perempuan-ah, mudah-mudahan tak keliru-merupakan sebuah kelaziman. Tak bakal ada sesuatu yang baru diraihnya bila berdialog begitu.Aku jadi penasaran. Benar kamu seorang perempuan? Jangan-jangan kamu seorang lelaki yang mempermainkanku.+ Lha, edan kamu. Sinting. Tak percaya? Lihat aja sendiri. Ah, nggak. Aku hanya ragu. Kamu menantangku untuk memastikan jenis kelaminmu? Aku nantikan suatu saat.+ OK deh. Kapan-kapan kukirim potretku.Kalau betul kamu perempuan, pasti kamu cantik dan menggemaskan.Sehari kemudian, apa yang dijanjikan Je jadi kenyataan. Di layar maya itu, ia bisa menemukan wajah Je yang sejak lama bermain-main dalam imajinya. Meski pada mulanya wajah Je begitu samar. Je telah mengirim potretnya dengan resolusi gambar yang berbeda dengan kemampuan CPU-nya. Ia terpaksa melakukan down-load agar pixel gambar itu benar-benar kontras terdedah di layar komputernya. Kiriman gambar itu pun sudah yang kedua kalinya. Yang pertama, gagal karena terserang virus yang hebat. Meski sudah diupayakannya melalui virus scanning tercanggih, tapi tak kunjung berhasil.Hatinya berbunga-bunga ketika menatap wajah Je yang sedang tersenyum. Je tak berbohong. Je memang cantik, manis, dan menggemaskan sebagaimana dugaannya. Semakin lama ia tatap wajah Je, perempuan di layar maya itu semakin menggairahkan. Senyumannya kian berubah jadi tawa renyah. Tatapan mata Je begitu hidup bagai menggamit dirinya. Ia hanyut menatap wajah Je yang rupawan.Setiap pagi, saat memulai kerja di control room di atas menara yang jauh dari keramaian, ia sempatkan membuka file yang berisi wajah Je. Tapi selalu ada perubahan nyata yang dihadapinya. Je selalu berubah ekspresi. Kadang ia tertawa manis, Kadang marah menyebalkan. Kadang Je tertidur pulas. Hebatnya lagi, ia kini bisa menyaksikan semua aktivitas Je di rumah dan di mana saja. Ia bagaikan menyaksikan sebuah panorama yang dikirim dari hidden camera yang ia sendiri tak tahu di mana dipasangnya.+ Selamat pagi...Di layar maya itu, Je mengucapkan sapaan lembut bagaikan berhadapan langsung dengannya. Ia berdebar-debar. Semua peristiwa keseharian Je tiba-tiba muncul begitu nyata di layar komputer itu. Andaikan ia punya layar monitor ukuran dua kali dua meter, tentu sosok Je akan semakin jelas. Bagaikan menonton sebuah filem layar lebar di kepungan deru ombak yang tak pernah lelah. Selat Melaka selalu jadi saksi atas segalanya.Selalu saja ia saksikan bagaimana Je sarapan pagi, mandi dengan shower, berangkat kerja, bercengkerama dengan orangtua dan adik-adiknya. Ia juga menyaksikan bagaimana Je mengenakan gaun tidur yang berwarna biru muda. Je ternyata suka tidur miring ke kiri sambil memeluk guling yang empuk. Ia selalu menahan napas bila menyaksikan adegan-adegan sensual begitu.Je, aku rindu kamu. Aku tiba-tiba ingin...Ia membayangkan sesuatu yang sangat pribadi. Ia ingin berpelukan, ciuman dan menyalurkan birahinya. Semua yang berkelabat dalam pikirannya itu tiba-tiba muncul di layar maya itu. Pada mulanya asap mengepul berbaur awan yang komulus. Je tiba-tiba muncul begitu saja dengan gaun kebiruan melayang-layang di angkasa. Rambutnya tergerai diditup angin sakal. Je tersenyum dan melambai-lambai manja.Di atas sosok Je itu, ia menemukan dirinya juga sedang melayang-layang. Ia mengejar Je dan menggapai-gapai. Keduanya terhanyut di sebuah turbulence yang tak membahayakan. Keduanya saling mendekat. Dan... keduanya saling bersentuhan, berpelukan dan berciuman. Angin memukul-mukul punggung keduanya. Keduanya semakin birahi. Keduanya saling menikmati.Ia menyaksikan adegan-adegan itu penuh perhatian. Ia merasa heran dan takjub, bagaimana mungkin semua itu terjadi begitu saja. Apa yang ia angankan tiba-tiba terdedah dengan mudahnya di layar maya.Ia jadi berkeringat dan kelelahan. Ia coba mencubit lengan kirinya kalau-kalau apa yang disaksikan hanyalah sebuah mimpi. Ia meringis kesakitan. Ia menyaksikan bagaimana lambaian Je saat menghilang di layar maya itu. Senyuman Je benar-benar melekat di sudut pikirannya. Ah, Je, bisiknya lirih.Begitu tersadar, ia cepat-cepat mengetik di keyboard. Ia segera kirim mail buat Je.Je, kamu baik-baik saja? Aku tiba-tiba menyaksikan sesuatu yang sulit kulupa. Antara mimpi dan nyata, aku kok bisa merasakan kehangatan tubuhmu?+ Surprise... Busyet..! Aku juga. Kok bisa? Kamu berhalusinasi, kali?Ah, nggak juga. Aku berharap, adegan itu terulang lagi, kapan-kapan.Je tak menjawab. Lama layar komputer itu kosong. Ia terkesima. Ia bagaikan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Ia tak langsung melakukan tugasnya di control room itu. Orang-orang yang berseliweran di kiri kanannya, sedikit pun tak menarik baginya. Ia terbius oleh Je.Ia menanti sapaan Je yang kasar seperti padamula perkenalannya di layar maya itu. Tapi Je kini tak memberikan aba-aba akan muncul. Setiap ia mengirim mail buat Je, jawaban yang diterimanya: undelivery. Mail itu membalik begitu saja seolah-olah ada kesalahan administrasi. Ia jadi penasaran. Ia jadi bodoh berhadapan dengan perempuan maya itu.Ia tiba-tiba ingin mendatangi Je di kotanya. Tapi, sayang, ia tak tahu di mana alamat rumah Je. Ia juga belum sempat menanyakan nomor telepon dan alamat kantor Je. Ia betul-betul miskin data. Padahal berbulan-bulan ia berkomunikasi dengan perempuan itu, tak terpintas dalam pikirannya untuk menanyakan hal-hal sepele begitu. Tunggu dulu, bukan tak terpikirkan, tapi ia sejak mula sudah bertekad untuk tidak berbincang soal yang lazim dari peristiwa keseharian.Ia jadi nekad. Ia bagai kesurupan ketika ia mengirim mail buat Je dengan huruf dengan ukuran 36 font: "Je, jawab aku kapan pun kamu mau." Sesudahnya, ia mematikan komputernya. Dan komputer itu ia banting dan tak pernah berusaha menyalakannya lagi. Ia mengubur pesawat komputer itu bersama bayangan Je.Ombak Selat Melaka yang menggelegar berdegup kencang di jantungnya. ***

No comments:

Post a Comment