Friday, July 1, 2011

Mata Sunyi Perempuan Takroni


Cerpen: Triyanto Triwikromo 

 Sumber: Kompas, Edisi 04/07/2002 

 JERUJI pembatas makam Al-Baqi dari dunia luar masih jeruji yang itu-itu juga. Melongok dengan mata nanar ke dalam makam, para peziarah akan senantiasa memandang puluhan askar berkacak pinggang dengan angkuh dan waspada, seakan-akan musuh dari Kampung Al-Aghwat bakal menyerang tiba-tiba.Tidak! Tidak! Polisi-polisi itu hanya menjaga gundukan makam para sahabat dan istri-istri Nabi. Lihatlah, mereka tak berani mengusir ratusan merpati yang mematuki butir-butir habbah1 yang ditebarkan para peziarah. Mereka bahkan tampak seperti robot-robot santun yang tak memiliki pekerjaan lain, kecuali mendengarkan cericit merpati dan ratapan orang-orang yang khusyuk berdoa."Meski begitu, kalau berani menyusup ke dalam mereka akan memukul pantat dan kepala kita dengan pentungan," kata Zulaikha, perempuan hitam kecil yang tengah mencengkeram jeruji itu kepada perempuan kencur lain.Mereka agaknya sangat terkagum-kagum pada kilau matahari yang menimpa sayap-sayap merpati dan gundukan-gundukan tanah kelabu padat itu."Kalau sekadar memberi habbah kepada merpati, apakah kita akan diusir juga?""Bukan hanya diusir. Dihajar, buk! buk! buk, kepalamu akan penyok dan pantat bakal memar tak keruan. Kalau tak percaya, mari kita tanyakan kepada ibuku."Bagai capung, anak-anak itu kemudian membentangkan tangan, melesat ke pelataran makam Al-Baqi yang dipenuhi para peziarah. Sesekali mereka menabrak orang-orang yang khusyuk berdoa. Sesekali terjatuh dan mengagetkan para tetua Madinah yang melakukan jihad fisabilillah2 dengan cara membimbing orang-orang asing mengungkapkan ucapan selamat dan doa kepada para penghuni makam.Dan, Madinah yang terik masih menguarkan kilau matahari saat Zubaedah binti Musa menjajakan habbah di pelataran makam Al-Baqi. Bila sempat merekam berbagai peristiwa dengan mata hati, kau akan melihat sepasang merpati melintas dari Masjid Nabawi mencericitkan suara-suara aneh serupa zikir serupa masnawi.Seperti biasa merpati-merpati itu tak langsung meliuk ke pekuburan bertembok indah kukuh itu. Dengan membentangkan sayap yang berkilauan, mereka menukik persis di kedua tangan Zubaedah untuk kemudian mematuk biji-biji habbah yang sengaja ditebarkan di pelataran makam oleh perempuan Takroni3 bermata buta itu."Ibu, mengapa kita tak boleh memberikan makanan kepada merpati-merpati yang kemruyuk di makam? Mengapa hanya yang di pelataran yang boleh diberi makanan?""Karena itu perempuan, Anakku. Dan, telah berkali-kali kukatakan kepadamu, hanya para lelaki yang diperbolehkan menyusup hingga ke pusat makam."Zulaikha, perempuan kencur yang dipungut Zubaedah dari lorong pasar Madinah yang riuh dan tak pernah tidur, tak puas mendengar jawaban itu. Matanya yang jernih mendadak melesat ke kerumunan para peziarah dari berbagai bangsa yang tengah berdoa dan meratapkan berbagai kosa kata aneh di hadapan gundukan tanah tanpa kijing atau nisan-nisan indah itu."Ayolah, Ibu, kita masuk ke sana. Kita berikan habbah yang tak terjual kepada merpati-merpati itu."Mendengar ajakan yang tak disangka-sangka, Zubaedah langsung berdiri tegak. Sepasang merpati yang mungkin takjub menatap perempuan hitam ber-abaya4 hitam itu terkejut sehingga sayap-sayapnya berkepak dan menimbulkan keriuhan yang mengagetkan para peziarah.Dengan cetakan dia berusaha meraih tangan Zulaikha yang telah meninggalkan teman sepermainan. Tetapi Zulaikha telah meluncur serupa anak panah, berlari menyusup ke retusan peziarah yang memenuhi pelataran makam berasitektur Arab itu."Jangan, Anakku! Jangan masuk!" teriak Zubaedah sambil berlari, menendang tampah habbah, dan menabrak orang-orang yang bergegas memasuki pintu pekuburan.Para peziarah-yang kebanyakan berjalan menunduk sambil melantunkan zikir-tentu saja kaget melihat perempuan buta terhuyung-huyung meneriakkan ratapan dalam bahasa Arab yang kacau. Mereka tak tahu betapa sesungguhnya Zubaedah sedang berjuang menghentikan lesatan anak panah yang jika berhasil menyusup ke makam bakal melukai keyakinan jutaan orang, ratusan keluarga raja, dan para peziarah yang taklid kepada adat."Ampunilah Anakku, ya Allah! Ampunilah anak yang tak mengerti teladanmu, ya Rasul!" Zubaedah berteriak lagi.Sayang sekali, Zulaikha telah jadi anak panah yang diluncurkan dan busur buta. Karena itu dengan gerakan zig-zag menawan, dia meliuk, menyusup, dan terus berlari ke bibir pintu makam. Keinginan perempuan kencur itu hanya satu: memberikan sebanyak-banyak habbah kepada ratusan merpati yang mengepak-ngepakkan sayap di atas gundukan-gundukan makam.AKU pun sesungguhnya ingin sepertimu, Anakku. Ingin sebanyak mungkin memberikan habbah kepada ratusan merpati yang konon melindungi Nabi saat dikejar-kejar orang-orang kafir di Jabal Sur. Bukankah bersama laba-laba yang terus merajut sarang, merpati-merpati itu tafakur dan menyelimuti dinding gua? Bukankah mereka telah menjadi perisai bagi ajal Nabi?Karena itu, Anakku, memberi makan mereka sama saja memberikan cinta tak habis-habis kepada Kanjeng Nabi. Jika hanya ingin berbagi rasa cinta, kau tak perlu memasuki makam keramat. Kau tak perlu menangis dan meratap sepanjang waktu di gundukan-gundukan tanah yang dimuliakan oleh orang-orang Madinah. Apalagi kau perempuan, Anakku. Apalagi kau hanya orang Takroni.Dan, sebagai orang Takroni, wahai Anakku yang malang, ibarat air kita bukanlah zamzam. Sebagaimana Bilal, pria indah yang menyeru-nyeru nama Allah dalam nada paling indah, kau hanyalah dahak yang ditumpahkan dari langit hitam yang sedang batuk. Kau hanyalah gema dari bunyi hoekkk dan plok dari kotoran tenggorokan yang membentur lantai marmer pelapis keindahan pelataran makam Al-Baqi yang kini telah dikepung pasar emas dan puluhan hotel mewah.OHO... tak perlu kau risaukan asal-usulmu, Anakku. Ibarat benda yang senantiasa dinajiskan oleh orang lain, kita adalah tinja yang mengotori keindahan istana para raja," begitu kata Musa bin Zakaria, ayahku, kali pertama aku mempertanyakan perbedaan kulit hitamku dari kemolekan kulit anak-anak pria-pria Madinah yang ingin bermain-main bersamaku di lorong-lorong pasar-yang sayang selalu dilarang oleh orangtua mereka-itu."Bahkan kau akan buta jika berani mempertanyakan mengapa gunung disebut sebagai jabal, raja disebut sebagai tuan, Bilal dilahirkan sebagai budak, engkau dilahirkan sebagai engkau, aku dilahirkan sebagai aku, dan habbah Madinah hanya layak dipatuki merpati-merpati yang tak pernah berkurang dan bertambah sejak Nabi gesang dan senantiasa menangis sesenggukan di pekuburan para sahabatnya itu," ujar Ayah yang mengaku sebagai putra imigran asal Nigeria.Entah karena bertanya mengapa aku dilahirkan sebagai perempuan Takroni atau disebabkan oleh penyakit keturunan atau hal lain, pada usia yang sedang mekar, aku benar-benar buta.Dan, Ayah, sebagaimana pria Takroni lain, tak meratapi peristiwa duka nestapa itu. "Sudah kubilang... jangan usil. Jangan mempertanyakan apa-apa. Jangan melihat yang tak pantas dilihat. Jangan..."Maryam-ibuku, perempuan yang seindah dan secantik buah zaitun-selalu memprotes pendapat Ayah. "Engkau hanya tahu Hajar Aswad berwarna hitam. Tetapi kau tak tahu Nabi juga memuliakan Bilal nenek moyang kita yang rupawan. Engkau hanya tahu para peziarah mengenakan ihram putih, tetapi tak tahu betapa Ka'bah diselimuti kain hitam bertabur benang emas."Sebagaimana Nabi, Ayah sangat memuliakan perempuan. Saat berbeda pendapat dengan Ibu, dia tak pernah menampar atau memarahi perempuan molek yang amat dicintai. Meski demikian, Ayah tak menganggap kebutaanku sebagai kutukan. Dia, sebagaimana Ibu, menerima segala peristiwa kehidupan sebagai amanat atau bahkan sebagai cinta Nabi dan Allah kepada umat-Nya.Menjelang aku remaja Ibu bilang, "Engkau memang buta, Anakku. Tetapi engkau akan jadi mawar Madinah." Menjelang Ayah meninggal, dia berdoa, "Tuhan yang Maha Melihat telah Engkau butakan mata anakku, telah Engkau minta kembali segala keindahan cahaya Madinah dari matanya. Aku tak akan marah, ya Allah. Aku tak akan marah. Tetapi Engkau Yang Maha Memberi, berilah anakku cahaya hati yang paling terang di tengah-tengah kegelapan yang senantiasa menguntit kehidupannya."Sejak itu tak seorang pun, termasuk pedagang tasbih, kerudung, dan siwak5 yang berjejal-jejal di sekujur tubuh pelataran makam mempertanyakan kebutaanku. Hanya engkau, wahai Anakku, yang pada malam sunyi yang menggigilkan lorong-lorong jalan, mempertanyakan asal-usul kebutaanku."Apakah Ibu pernah merasakan keindahan Masjid Nabawi?" tanyamu polos saat itu."Ya, Ibu bahkan hapal gradasi warna emas di sekujur pintu. Ibu malah bisa menghitung berapa lampu yang menebarkan cahaya indah di menara dan berapa ukiran serupa bunga yang menghiasi kubah-kubahnya. Ketahuilah Anakku, Ibu juga paham segala warna yang menghiasi raudah6 Nabi. Dulu aku sering menangis dan berdoa tak kunjung henti di taman surga itu.""Jadi, Ibu pernah melihat segalanya?""Ya, ibu pernah melihat segalanya, bahkan segala yang tak pantas dilihat oleh manusia.""Mengapa Ibu kemudian buta?""Mungkin karena Ibu telah melihat sesuatu yang tak pantas dilihat oleh seorang perempuan."Sampai pada kata-kata itu, kau tahu Anakku, sebenarnya aku tak sanggup lagi meneruskan ceritaku. Aku takut kau akan mengikuti jejakku. Tetapi kau terus mencerocos, memberondongku dengan pertanyaan polos yang mendesak dan menikam. Akhirnya kau pun tahu mengapa perempuan seperti aku harus dibutakan.ZUBAEDAH sesungguhnya tak pernah menceritakan penyebab kebutaannya kepada siapa pun. Tak kepada ayah atau ibunya. Apalagi kepada Zulaikha. Karena terpesona pada cerita Musa bin Zakaria tentang keutamaan mati di Madinah, malam itu dia menyusup ke makam.Sambil berjingkat pelan-pelan, dia mengingat-ingat petuah ayahnya. "Kalau bisa matilah di Madinah, Anakku. Sebagai orang Takroni hidup kita di dunia memang tak segemerlap orang-orang Madinah. Kita tak mungkin jadi warga negara kerajaan sampai kapan pun. Tetapi, kalau kau mati di sini Nabi akan memberikan surga."Waktu itu, karena diserang demam tak berkesudahan, Zubaedah merasa sang ajal sudah mengintip. "Mati di Madinah memang baik, namun akan lebih baik jika aku bisa mati di makam Al-Baqi," pikir perempuan yang sedang mekar itu.Alhasil, Zubaedah pun mulai merayap mendekati pintu makam. Malam menyelimuti sekujur tubuh yang dililiti abaya hitam itu sehingga tak seorang pun melihat sesosok bayangan memanjat jeruji makam. Sial! Belum sampai menginjak bagian dalam makam, mendadak sebuah tangan kekar menarik abaya Zubaedah. Pegangan Zubaedah terlepas. Dia terjengkang. Bagian belakang kepala membentur lantai marmer. Lalu segalanya menggelap. Cahaya lampu-lampu Madinah yang berkilauan hilang dari pelupuk mata.Zubaedah tersadar dari pingsan yang panjang setelah azan subuh dari Masjid Nabawi melengking-lengking. Malaikatlah yang menghalang-halangi? Entahlah! Yang jelas, sebelum pingsan, dia mendengar suara-suara orang-orang kekar menyumpah tak keruan."Dasar Takroni. Apa yang akan dia curi dari pekuburan!" teriak seseorang."Ya, apa yang diburu perempuan keturunan budak ini?" ujar seseorang lagi sambil menginjak dada."Sudah! Sudah! Tinggalkan saja dia di sini!"Lalu suara orang-orang kekar itu lenyap. Hanya bunyi sepatu lars menyusup dari kejauhan.ZULAIKHA masih termangu-mangu di bibir pintu makam. Dia tak bergegas melesat ke dalam makam karena mendadak ingat cerita Zubaedah tentang cahaya mahaterang yang senantiasa menyelimuti makam Al-Baqi."Cahaya terang yang berkilau dari sayap malaikat akan membutakan matamu, Anakku. Jadi, camkan nasihatku. Jangan pernah masuk ke makam, sekalipun engkau ingin mati dan dikubur di dalamnya."Zulaikha hanya tahu untuk mati di Madinah dia harus setiap hari menjual habbah di pelataran makam, bercanda dengan merpati-merpati, salat di masjid Nabawi, dan sesekali meneriakkan kata-kata fisabilillah kepada para penziarah agar diberi satu atau dua riyal.7 Tetapi, siang itu merpati-merpati di atas gundukan makam tampak kelaparan. Makin sedikit peziarah yang memberikan habbah kepada mereka. Makin sedikit perempuan-yang biasanya mengasihi dan menyayangi binatang-mendekat ke makam.Dan Zubaedah, masya Allah, perempuan buta itu, terhuyung-huyung menabrak benda apa pun di hadapannya. Dia menyangka Zulaikha akan mengikuti tindakan konyol yang pernah dia lakukan sebelum kebutaan menyergap dan memenjara. Dia menyangka perempuan kecil itu nekat melawan puluhan askar yang berkacak pinggang di dalam makam.Karena itu, jauh sebelum menggapai pintu makam, dia membayangkan para polisi menggebuk tubuh mungil Zulaikha. Menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor dan menganggap para perempuan Takroni sebagai budak yang tak tahu aturan.Tetapi, lihatlah! Zulaikha masih tetap termangu di pintu makam. Puluhan, tidak-tidak, ratusan merpati yang kemruyuk di gundukan tanah kelabu (o jelmaan malaikatkah mereka) tiba-tiba melesat di atas kepala perempuan kecil itu. Mereka menukik ke arah Masjid Nabawi, melambai-lambaikan sayap, seakan-akan mengajak Zulaikha meninggalkan daerah pertempuran."Ibu! Ibu! Lihat! Mereka tak mau mati kelaparan di makam!" teriak Zulaikha kegirangan. *Hotel Sanabel Al Madina, Madinah Munawarrah, 2002 Catatan:1) Habbah adalah sejenis gabah. Para penziarah makam Al-Baqi dianjurkan memberikan makanan itu kepada ratusan merpati yang senantiasa kemruyuk di kompleks pekuburan tersebut. Saya beruntung tersesat ke makam itu saat melaksanakan ibadah haji belum lama ini.2) Jihad fisabilillah adalah anjuran berderma. Para tetua Madinah mendoakan orang asing antara lain untuk mendapatkan belas kasih dari penziarah.3) Takroni merupakan sebutan bagi imigran Afrika yang tak mungkin kembali ke tanah asal, namun juga tak mungkin jadi warga negara Kerajaan Arab Saudi.4) Abaya: pakaian khas sejenis mukena yang dikenakan para perempuan Arab.5) Siwak kayu lunak yang difungsikan sebagai pembersih gigi.6) Raudah disebut juga sebagai salah satu taman surga. Sebuah area antara mihrab dan makam Nabi Muhammad.7) Riyal:mata uang resmi Arab.

No comments:

Post a Comment