Friday, July 1, 2011

Perempuan di Jenjang Rumah


Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim 

 Sumber: Kompas, Edisi 07/07/2002 

 RUMAH panggung ini, lebar 6 meter dan panjang 12 meter. Beratap genting Palembang berwarna gading, terletak di Lolohan Timur. Konon, yang bermukim di rumah-rumah panggung ini, adalah pelarian dari Armada Bugis, yang datang pada tahun 1653-1655, karena mereka membelot dari Belanda. Pembelotan ini dipimpin langsung oleh Daeng Nahkoda.Nurhayati, yang keturunan ke sepuluh dari orang-orang Bugis itu, akhir-akhir ini, lebih sering bermimpi, melihat nenek-moyangnya, mengarungi lautan dengan perahu-perahu Bugis yang cantik. Perempuan-perempuan dalam perahu (yang salah satu dari mereka adalah nenek-moyangnya), ikut menggulung layar pada saat badai. Memancing ikan-ikan untuk logistik seluruh awak kapal, melantunkan syair-syair, ketika lautan tanpa badai, di mana ikan lumba-lumba berlompat-lompatan di sisi perahu. Sementara itu, dia sekarang setiap harinya cuma duduk di jenjang rumah. Sepertinya, cuma menunggu hari pernikahan dengan pacarnya, Hamdani, teman sekuliah dulu. Nurhayati berpikir, bagaimana, bisa menceritakan pikirannya kepada bapaknya, yang kepala dusun di sini: apakah betul, pernikahan adalah gol terakhir dari seorang perempuan, hanya lewat proses itu sampai pada muara tujuan hidup ini. Sesungguhnya, waktu remaja dulu, dia selalu mengimpikan, akan datang seorang laki-laki, dari tengah lautan, yang membawanya melihat dari satu laut ke laut yang lain. Itu memang mimpi remaja. Namun, soal pernikahan itu sering sekali didiskusikan dengan pacarnya. Hasil diskusi, itu tidak menambah apa pun, kecuali Nurhayati semakin ingin seperti pacarnya: pergi meninggalkan tempat ini! (Yah, pacarnya sudah tiga bulan pergi mencari pekerjaan ke Kalimantan). Nurhayati melihat beberapa anak sedang bermain, tertawa-tawa. Dia tahu, dunia anak adalah dunia di mana kita ingin tinggal selama-lamanya di sana. Pikirannya terpotong, tampak dari jauh, Khotijah, yang berjilbab ungu (kelihatan cantik) berkata, "Rapat untuk organisasi sosial kita, kali ini, bertempat di masjid, waktunya selepas sembahyang isya. Jangan lupa kau datang lebiha awal. Kau sering terlambat. Kita kan pengurus." Nurhayati mengangguk cepat. Sebetulnya, tidak yakin, apakah punya kebutuhan di organisasi sosial itu, sebagai sebuah proses "menjadi", atau hanya untuk membunuh waktunya, ketika berpuluh-puluh surat lamaran kerjanya, tidak ada jawaban! Di musim yang kemarau panjang, di mana udara panas menggulung, dia suka sekali duduk di jenjang rumahnya, untuk mendinginkan tubuh, karena angin melintas-lintas di bawah pohon besar itu. Kembali dilihatnya sebuah undangan berwarna merah dari teman sekampung. Sering sekali Nek Sa'adah (masih bilangan kerabatnya) menasihati, "Kapan kamulah Nur yang jadi pengantin! Dari semua teman seumurmu, tinggal kamu dan Khotijah yang belum menikah. Padahal, kamu sekolahnya paling tinggi." Yah, nasehat ini sering diucapkan, saat dia bertandang ke rumah Nek Sa'adah. Mendengarkan pantun-pantun Nek Sa'adah (dia punya juga menjadi penyair, yang bisa keliling dunia, membacakan puisi-puisinya atau puisi para leluhurnya). Nurhayati, melihat orang yang lalu-lalang di depannya. Mereka semua kelihatan sederhana dan bahagia. Padahal, kemarin malam, seorang laki-laki yang sepertinya datang dari lautan, mengajaknya ngobrol. Dan setelah beberapa kali bertemu, Nurhayati merasa dekat dengan Budiman. (Budiman peneliti rumah-rumah di Lolohan Timur ini). Nurhayati menghapus keringat di dahinya kala Khotijah meghampirinya. "Nur, aku mendengar kabar, sebentar lagi Mbak Mila akan pulang ke Jawa bersama suaminya. Dia butuh guru TK untuk menggantikannya." "Aku bisa menggantikannya." Khotijah melihatnya, "Kau bukan dari jurusan keguruan. Namun, cobalah, mungkin Mbak Mila setuju. Aneh, katanya kau kepingin keluar dari kampung ini dan menjadi penyair! Jadi, mengapa kau akan bekerja di TK perkampungan nelayan itu? Kau kan tahu juga, anak-anak TK di sana sulit diajari mata pelajaran apa pun. Mereka berpikir, tanpa sekolah, bapak dan abang-abangnya bisa dengan mudah mencari uang." "Aku akan mengatakan dengan bahasa anak-anak, menggali ilmu bukan semata untuk mencari uang, melainkan ibadah setiap manusia." "Nur, aku bisa melihat kegelisahan di matamu. Ada apa sih? Sebagai perempuan, aku mau sederhana saja, yaitu menjadi ibu. Tidak seperti engkau. Benar juga kata teman-teman, seharusnya engkau jadi penyair." Nurhayati diam saja. Kadang, dia tak bisa bicara dengan Khotijah (teman dekatnya). Ada kesedihan yang tak bisa dibagi dan harus disimpan. Namun, menjadi guru di perkampungan nelayan itu, bisa jadi bapaknya tidak setuju. Karena, bapaknya lebih suka melihatnya menjadi karyawan bank yang setiap pagi seperti kupu-kupu cantik, bergaji lumayan dengan seragam banknya dan bau parfum yang mengembang. Apalagi, honor guru TK di sana sangat kecil, yang tak pernah cukup untuk ongkos transportasi. Dia melihat ke panggung rumahnya. Kemarin, beberapa turis domestik, terkagum-kagum melihat rumah panggungnya, yang punya jendela berjeruji tanpa daun jendela. Beberapa orang menawar rumah panggung ini (dia bersyukur, bapaknya tidak pernah ingin menjual). Di sisi lain, dia tidak tahu mengapa dia ingin menetap di sini selamanya. ***PAGI ini, dia sudah berada di TK perkampungan nelayan. Dia mencoba bersungguh hati untuk sebuah hal yang dia sendiri tidak tahu. Namun, beberapa bulan kemudian dia merasa bisa menghabiskan waktunya dengan senang. Apalagi saat melihat binar mata anak-anak nelayan yang bisa menangkap apa yang diterangkan. (Pacarnya di Kalimatan bilang sudah mendapat pekerjaan. Tapi belum tentu bisa pulang ke rumah dalam tahun ini). Dia membiaskan hal itu dengan mudah. Lebih-lebih ketika TK tempatnya mengajar, semakin kena abrasi dari lautan. Dia mulai belajar menuntut ke kepala dusun, camat dan bupati. Beserta beberapa anak muda, dia memperjuangkan agar sekolahnya mendapat tempat yang lebih tinggi dari pantai. Dia melihat sebuah gudang tempat penyimpanan ikan asin milik pemerintah desa yang disewa oleh para juragan ikan asin. Sementara itu, teman terakhirnya yang masih bujangan, Khotijah, akan menikah dalam bulan ini. Sambil menyusuri tepi laut ini, (yang mungkin akan berubah dalam tahun-tahun mendatang, karena akan dibuat pelabuhan bebas di sini) di mana mereka berdua tidak pernah menyukai perubahan ini. Buat mereka, tempat bermainnya di masa kecil, adalah ketika mereka melihat para nelayan berangkat menangkap ikan di senja yang bagus. Khotijah bercerita, "Aku tidak tahu hubunganku dengan Sabara, sekalipun aku sudah mengenalnya sejak kecil. Tapi suatu ketika, ketika kami sama-sama mengikuti penataran organisasi kita di Jakarta, kau tahu kan, berada di Jakarta segalanya berbeda dengan kampung kita. Di situ, kami menemukan sesuatu. Aku merasa ada seseorang yang peduli kepadaku. Nur, setelah ini aku berharap kau dengan Hamdani akan segera menyusul." Nurhayati cuma diam saja. Dia mengatupkan bibirnya. Setelah pacaran berjarak jauh hampir satu tahun, dia tidak tahu lagi, apakah itu masih disebut cinta, atau sebetulnya dia cuma butuh seorang yang akan menjadikan dirinya pengantin. Karena begitulah norma. (Sesungguhnya, Nurhayati lebih ingin menjadi seorang penyair dan membacakan syair-syair yang sering dia dengar dari Nek Sa'adah ke seantero dunia. Seperti nenek-moyangnya, dia akan melihat dari laut satu ke laut yang lain). Khotijah memegang tangannya. "Nur, setelah ini, aku tidak bisa menjadi ketua. Sabara tidak suka aku banyak keluar rumah. Aku ingin kau yang menjadi ketua." Nurhayati membatin. Inikah sebuah penindasan! Namun, yang keluar dari bibirnya, "Tentu saja, kau akan menjadi ibu dan istri, tidak banyak waktu untuk organisasi. Tapi sayang sekali, kalau organisasi kita telantar, sekalipun tak banyak juga waktuku, aku mau menggantikan jabatanmu. Aku sendiri sedang belajar bahasa Inggris di Denpasar. Kau masih ingatkan, aku lebih ingin melihat dunia ini dulu daripada menikah. Dan impian itu ingin kuwujudkan dalam hidup ini. Tentu saja untuk bisa berkomunikasi dengan siapapun, aku harus bisa bahasa Inggris kan?" Khotijah kali ini tidak menjawab. Mereka berdua menyusuri tepi pantai Rening. Perahu-perahu nelayan berwarna hijau sedang berlabuh. Baik Nurhayati maupun Khotijah sebenarnya ingin lebih lama berada di tempat ini. ***PERTEMUAN dengan Bupati berjalan alot. Berkali-kali Nurhayati mencoba menghadap, tapi sepertinya Bupati tidak punya waktu untuk menemuinya. Namun, akhirnya Nurhayati bisa bertemu Pak Bupati. Di luar dugaannya, Pak Bupati mengiyakan dengan cepat. Dan mewujudkan usulannya setelah berkali-kali rapat dengan anggota DPRD. (Nurhayati merasa mekanisme birokrasi ini memperlambat segala-galanya). Rasanya semua sudah hampir selesai. Namun, beberapa juragan ikan asin masih ngotot meletakkan ikan-ikan asinnya di sana, yang pasti akan mengganggu proses belajar-mengajar mereka. Sekali lagi, Nurhayati mencoba untuk meyakinkan penyewa gudang, mereka akan mendapat tempat yang lebih representatif dari pemerintah. Di saat-saat seperti itu, dia hampir seperti kehabisan waktu untuk dirinya sendiri. Hal ini sering dikeluhkan oleh bapak dan abangnya. Akhirnya, ketika gedung itu menjadi tempat yang rancak dan sehat untuk anak-anak nelayan. Garam laut terasa di bibir anak-anak itu. Sambil belajar, mereka masih bisa melihat bapak dan abang-abangnya, yang dengan perkasa mencari ikan di laut. Banyak orang memberi selamat. Koran-koran lokal memuat fotonya. Hamdani lewat surat, mengatakan kegembiraannya. ***KALI ini, sepulang dari mengajar, Nurhayati menyusuri pantai. (Dia mencoba tidak melihat pantai yang dirasanya semakin biru lazuardi). Dia mulai berpikir, apakah pernikahan itu perlu, air matanya mengalir. Keluarganya dan keluarga Hamdani, sudah menetapkan kapan mereka akan menikah. Ini berarti, sebagai istri, dia harus meninggalkan TK tempatnya mengajar, rumah panggung yang dikagumi teman-teman senimannya, dan diriset oleh Budiman, yang peneliti, (dengan bahagia, dia ikut mencarikan datanya). Karena ingin sejarah dari rumah panggung ini dibukukan, agar setiap orang di luar Kampung Lolohan Timur ini tahu. Dan penelitian itu, dalam beberapa hari ini, akan selesai. Di pantai ini, Budiman berkata, "Aku tidak tahu, bagaimana mengucapkan terima kasih kepadamu. Buku ini memang harus dipersembahkan untukmu. Karena rumah panggung itu, adalah bagian dari dirimu sendiri." Nurhayati melihat Budiman lekat-lekat. Dan tak seorangpun yang tahu, siapa yang memulai! Mereka saling memberikan dirinya, setelah itu, Nurhayati tak akan risau lagi, kalau bercermin, melihat hidungnya yang tidak mancung dan bibirnya yang sensual. Budiman akan segera pulang ke Jakarta bersama data-datanya tentang rumah panggung ini. Sementara itu, dia sendiri akan menjadi istri yang harus mengikuti suami bekerja di Kalimantan. Dan rumah tinggal mereka, di sebuah perumahan BTN! Malang, 29 Maret 2002   

No comments:

Post a Comment