Friday, July 1, 2011

Perempuan Semua Orang


Cerpen: Teguh Winarsho AS 

 Sumber: Kompas, Edisi 12/22/2002 

 IA datang saat senja sekarat di ambang malam. Langit bergetar, meremang, bagai habis terbakar. Ada bau ilalang garing diembus angin menggerus lambungnya saat menaiki undakan teras. Juga sayup jerit, entah dari mana, begitu miris, terdengar berulang-ulang. Ia tampak takut, tapi niatnya tak surut. Ia terus melangkah. Gaunnya sesekali terkibar dihantam angin. Membuat bagian-bagian tertentu tubuhnya kadang menyembul teramat menggairahkan.Namun, baru beberapa jengkal tiba-tiba ia berhenti. Berdiri gamang di depan pintu. Menyeka titik-titik keringat di sekitar dahi seperti angin menghapus keraguan dalam hati. Ia terus berdiri. Menunggu seseorang membuka pintu. Dalam hati ia berharap seseorang lari tergopoh-gopoh dari dalam rumah menyambutnya dengan senyum ramah lalu mendekap tubuhnya dengan hangat. Mungkin juga sedikit kata-kata yang bisa membuat perasaannya bahagia. "Bagaimana kuliahmu hari ini, Mai? Kau tampak capai sekali. Mandilah dengan air hangat." Atau kecupan mesra di pipi. Di dahi. Tetapi, itu sia-sia. Lama ia menunggu hingga sekilas dari jauh tubuhnya tampak mengeras seperti patung batu.Malam merayap. Di langit bintang-bintang berkerlip seperti sinyal satelit. Dingin menembus tulang. Tetapi, ia masih berdiri di depan pintu. Masih menunggu seseorang. Tetapi, pintu itu belum juga terbuka. Dan ia masih mencoba menunggu. Lama. Lama... Hingga seperti ada sesuatu yang mengingatkan, serta-merta pipinya melesung diikuti senyum tipis merekah di bibir mungilnya yang merah. Cepat ia ulurkan tangan memutar gagang pintu. Terdengar bunyi engsel berkerit memecah sunyi. Lalu, remang lampu 25 watt menyergap kedua belah matanya. Sesaat kelopak matanya mengelepak bagai sayap burung luka. Lalu lengang.Gemetar ia melangkah. Mengedarkan pandang. Menahan jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Tetapi, sepi. Ruang tamu itu kosong. Tampak kotor, menjijikkan. Meja, kursi, almari, berjumpalitan ditingkah pecahan guci, vas bunga, cermin asbak, dan akuarium. Sulur laba-laba menghiasi tembok. Juga sedikit bercak darah pada gerutan kasar di tembok,-ah, ia ingat, gerutan itu tentu bekas benturan kepala Papa, sebelum kepalanya rekah dibacok golok. Papa tak sempat menjerit sebab lehernya dicekik. Dan bercak darah itu? Benarkah bercak darah itu milik Mama?Pelan ia melangkah mendekat. Mengulurkan tangannya yang putih bagai menguar cahaya kristal. Hingga pendar lampu di atasnya layu terhisap. Ah, lampu itu rupanya masih menyala meski tak cukup terang. Ia lupa, tetapi boleh jadi dulu ia yang menyalakan lampu itu. Hati-hati ia letakkan telapak tangannya pada bercak darah dan gerutan kasar di tembok. Jantungnya kembali berdesir seperti dipenuhi debu pasir. Seperti kembali diliputi kenangan buruk yang tak kunjung berakhir. Ia jongkok, merunduk, ingin mencium bercak darah di tembok. Tetapi, urung. Di lorong jauh, dua ekor tikus sebesar lengan bercericit berkejaran lalu lenyap di ruang makan. Mengejutkan!Susah payah ia mencoba berdiri tegak. Mengatur napas yang mendadak sengal. Lama ia berdiri menatap gerutan kasar dan bercak darah pada tembok itu. Hingga bulu kuduknya meremang. Lututnya bergetar hebat. Dan di kepalanya berkelebat bayangan puluhan orang bersenjata tajam. Mengkilat. Wajah-wajah beringas. Mata-mata merah. Melotot. Berteriak serupa kesurupan. Ya, ya, ia kembali bisa melihat kelebat pedang dan golok itu, saat ini, dalam remang cahaya lampu terasa menyilaukan. Juga suara orang-orang itu, berteriak, memaki, mengumpat penuh kebencian. Lalu tawa mereka, mengingatkannya pada kawanan serigala liar. Tetapi, mereka bukan binatang sebab bisa bicara dan tertawa.***BAYANGAN itu begitu kental. Membuat ia kian gemetar, menggigil ketakutan. Sekian detik kakinya terpahat di lantai tak bisa bergerak. Wajahnya memucat bagai tak teraliri darah. Ia sangat tersiksa. Ia ingin berontak, berteriak, namun tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Tenggorokannya seperti tercekik. Ia ingin menangis, namun air matanya enggan tumpah. Malam kian mencekam. Keringat di dahinya kembali berleleran. Tidak lama kemudian, lagi-lagi seperti ada sesuatu yang mengingatkan, tiba-tiba ia tersenyum tipis, menepiskan tangan, menggeleng pelan. "Tidak! Itu masa lalu. Sudah lewat!" Seketika bayangan puluhan orang berwajah beringas itu lenyap. Malam kembali senyap.Ia kembali meneruskan langkah masuk ke ruang tengah, hati-hati menghindari pecahan kaca atau binatang semacam kecoa. Juga suara langkah kakinya sendiri yang boleh jadi akan menimbulkan kecurigaan. Di ruang tengah matanya nanar menatap foto keluarga. Foto itu buram tertutup debu. Ia masih ingat, foto itu diambil hanya beberapa jam usai acara wisuda yang melelahkan. Ia mengenakan toga, diapit Papa dan Mama tersenyum bangga. Di bawah foto tertera namanya dalam huruf Cina: Zhao Mai Ling.Ia melangkah menghampiri foto itu, meniup debu yang menebal pada kaca pigura, mengusap-usap dengan jemarinya, hingga wajah Papa, Mama, dan dirinya tampak semakin nyata. Tetapi, belum puas ia menatap foto itu tiba-tiba seperti ada badai yang mengempas keras tubuhnya. Membuat tenaganya sesaat lesap, tubuhnya huyung seperti mau roboh. Bayangan puluhan orang berwajah beringas kembali berkelebat di batok kepalanya seperti kelebat cahaya di malam buta. Kilatan golok saat membacok kepala Papa hingga rekah, juga kilatan pedang saat menebas perut Mama hingga ususnya terburai. Dan darah. Darah yang muncrat dari perut Mama kala itu membuat warna udara memar seperti tertampar.Cukup lama ia menghimpun kekuatan sebelum kembali berhasil menjejakkan kedua kakinya masuk ke ruang makan. Di situ ia kembali terpaku lama. Terbayang kesibukan saat pagi hari menyiapkan sarapan untuk Papa dan Mama: teriakan Papa minta disiapkan kopi. Atau jerit Mama dari kamar mandi sebab handuknya ketinggalan. Semua itu begitu jelas terbayang. Malamnya ia nyalakan lilin, duduk mencangkung menghadap meja makan menunggu Papa dan Mama pulang. Meski sesekali kedua orangtuanya tidak pulang lantaran pergi ke luar kota sehingga larut malam ia harus makan sendiri lalu meniup lilin-lilin itu dengan perasaan sepi.Tempat lilin itu hingga kini posisinya masih belum berubah. Juga gelas, piring, mangkok, sendok, dan botol-botol kecil yang berjajar rapi di rak samping. Ia ingin sekali memegang benda-benda itu, mengusap-usapnya, mengelus-elusnya, merasakan kembali geliat kerja setiap pagi yang menggairahkan. Mungkin bisa membuat dirinya sedikit tenang. Tetapi, mendadak seperti ada sesuatu yang menahan tangannya. Begitu kuat. Entah apa. Pelan ia merapat tembok. Gamang. Sekali lagi ia merasakan tenaganya raib, seperti ada kekuatan gaib menyedotnya.Namun, ketika tanpa sengaja sepasang matanya menangkap selarik cahaya membersit dari sebuah pintu kamar, perlahan-lahan tenaganya pulih. Jantungnya berkeretap kuat. Tergesa-gesa ia masuk ke kamar itu. Sebuah kamar luas bercahaya lampu muram. Itu adalah kamar miliknya. Di kamar itu ia sering menghabiskan waktunya untuk belajar. Membaca buku pelajaran atau sekadar buku-buku cerita ringan. Nyaris tidak ada yang berubah di kamar itu, selain tampak kotor berdebu. Meja, kursi, almari, rak buku, kipas angin masih sama seperti empat tahun lalu.Akan tetapi... Ah, ranjang itu? Ranjang itu telah bergeser jauh dari posisi sebenarnya. Juga sprei di atasnya yang acak, kusut. Dan noda darah yang menempel di sprei itu? Milik siapakah? Bukan milik siapa-siapa. Tetapi, miliknya, kala puluhan orang berwajah beringas puas membantai Papa dan Mama, seperti kesetanan mereka mendobrak pintu kamar dan memperkosanya. Bergiliran. Hingga ia pingsan. Berjam-jam. Ketika siuman ia sangat kecewa kenapa malaikat maut tidak mencabut nyawanya sekalian. Ia ingin mati saja. Menyusul Papa dan Mama. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri, namun selalu gagal. Ia terus hidup. Perutnya kian membesar menyimpan orok bayi. Terus tumbuh, tumbuh, dan tumbuh hingga suatu kali entah kenapa ia merasa sangat bodoh jika harus bunuh diri.***ADA banyak ruangan yang sebenarnya ingin ia lihat, sebanyak kenangan yang terus mendesak di batok kepalanya. Tetapi, ia takut. Waktu beringsut cepat. Sebentar lagi pagi tiba. Pagi yang akan membuat wajahnya pucat. Ia harus segera meninggalkan rumah itu sebelum terang menyentuh tanah. Sebelum orang-orang ke luar rumah. Selain itu, ia memang mesti segera kembali ke hotel sebelum anak laki-lakinya bangun lalu menanyakan keberadaannya kepada baby sitter. Ia tak ingin membuat bocah itu sedih dan menangis seharian hanya gara-gara ia tak ada di sampingnya saat bangun tidur.Dingin pagi menyergap tubuhnya saat keluar rumah. Tergesa-gesa ia mendorong pintu pagar depan hingga menimbulkan suara berisik. Sejenak ia menoleh menatap rumah di belakang, lalu kembali melangkah cepat-cepat menyusuri trotoar. Tetapi, ia terlalu letih untuk terus melangkah. Dan seperti tanpa sadar, tangannya melambai menghadang taksi yang kebetulan melintas. Letih, ia jatuhkan pantatnya di jok belakang.Mula-mula taksi meluncur cepat, tetapi tiba-tiba melambat dan berhenti persis di tikungan gelap. Pada saat bersamaan tiga orang laki-laki muncul dari balik semak-semak. Menenteng kapak. Mata mereka menyala, berkilat-kilat. Ia sangat ketakutan, meminta sopir taksi agar terus menjalankan kendaraannya. Tetapi, sopir taksi itu justru tertawa lebar. Tidak lama kemudian ia merasakan tengkuknya sangat nyeri.Lima jam setelah kejadian itu, di sebuah kamar hotel, seorang bocah laki-laki menangis terisak-isak saat bangun tidur. Bocah laki-laki itu sejak sore hanya ditemani seorang baby sitter yang pagi ini menghilang usai menguras uang dan perhiasan dari sebuah tas mungil di laci meja. Beruntung seorang petugas kebersihan hotel memergoki bocah itu, menenangkannya, lalu diam-diam membawa pulang ke rumah. Memberinya makanan enak, juga segelas susu.Ah, bocah laki-laki tampan, harganya pun pasti mahal, batin petugas hotel itu sedikit heran dengan mata sipit yang dimiliki bocah itu lantaran kulitnya gelap seperti orang kebanyakan. *Depok - Yogya, 1998-2002  

No comments:

Post a Comment