Friday, July 1, 2011

Kupu-kupu Hinggap di Tangkai


Cerpen: Arie MP Tamba 

 Sumber: Kompas, Edisi 01/05/2003 

 "KAI, ada apa ramai-ramai. Kelihatannya pakai tangis-tangisan juga," kata Kupu-kupu setelah menjejakkan kakinya di bahu tangkai pepohonan itu. "Ceritakan dong. Aku telat datang!" pintanya kemudian.Aku juga tidak bisa cerita banyak," beritahu Tangkai. "Ya, ceritakan apa adanya saja, asal aku tahu!" Tangkai menarik nafas. "Bukannya aku nggak mau cerita sama kamu, Pu," katanya. "Cuma, apa kamu nggak bisa menahan diri sehari dua hari tanpa berita? Biar kamu bisa tenang-tenang, terbang ke sana kemari tanpa beban?" "Mana bisa begitu, Kai. Hidupku sudah digariskan untuk mendengar dari sana-sini!" tegas Kupu-kupu. "Sudah risiko. Harus mendengar sekalipun tidak ingin. Bahkan dalam tidur pun, telingaku dapat mendengar apa yang diteriakkan manusia dan unggas-unggas itu dalam mimpinya!" Tangkai bergoyang menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa daun di pucuknya terbelai angin. "Kamu mau kan cerita yang kamu ketahui?" pinta Kupu-kupu lagi. Tangkai akhirnya mengangguk. "Demi persahabatan, aku akan cerita apa yang aku ketahui!" "Eh, tenang dulu, ada angin kencang!" tegur Tangkai yang segera berkelit dari sebuah gelombang angin kencang yang tiba-tiba menerjang. "Lho, kamu kok terbang?" teriak Tangkai. "Nanti, nanti saja ceritanya, aku pergiii!..." kata Kupu-kupu yang tak bisa menghindari terjangan angin yang kemudian menerbangkannya itu. Tangkai segera kehilangan Kupu-kupu. Sementara Kupu-kupu sedang menyeimbangkan terbangnya, di antara hembusan angin yang membawanya mendekati serumpun bunga yang kelihatan kepanasan oleh sorot matahari. "Eh apa kabar?" tanya Kupu-kupu kepada Kelompok Bunga yang kini dihinggapinya. "Baik saja!" kata si Kelompok Bunga. Kupu-kupu tampak berpikir. Kemudian memandang ke arah sekitar yang masih ramai oleh manusia. "Ada apa sih? Kok ramai sekali? Ada yang teriak-teriak lagi!" tanya Kupu-kupu. "Kau dari mana? Masa' tak tahu kejadiannya? Wah, tadi lebih pikuk. Seru sekalii..." Kelompok Bunga bergoyang-goyang gembira tertiup angin. "Wah wah, tumben kamu ketinggalan berita!" "Itulah. Aku baru terbang dari luar kampung sana," kata Kupu-kupu. "Jadi ketinggalan berita. Ah, ada angin lagi, Sampai nantiiii..." Kupu-kupu terpaksa melayang lagi, ketika segulungan angin cukup kencang datang dari arah berlawanan. Di antara tiupan angin yang membawanya, Kupu-kupu berusaha mengatur keseimbangan; hingga kemudian, dapat mengapung tenang ke arah Tangkai yang tadi dihinggapinya. Melihat Kupu-kupu datang lagi, entah kenapa Tangkai tiba-tiba memandang jemu dan serba salah! "Ada apa? Kelihatannya kau terganggu aku kembali," kata Kupu-kupu. "Kau pasti datang untuk peristiwa itu kan?" Tangkai bergoyang. "Wah, karena tadi terbawa angin, aku malah hampir lupa," kata Kupu-kupu. "Bukannya kamu sekarang mencari bandingan, setelah mendengar dari Kelompok Bunga?" "Ooh? Tidak, tidak begitu. Aku belum mendengar apa-apa. Kelompok Bunga belum sempat bercerita." "Begitu?" "Ya. Hm. Oya, peristiwa apa sih sebenarnya, yang tadi itu? Kok ramai? Tapi, sekarang, ke mana orang-orangnya?" "Mereka sudah bubar. Kelihatannya ada jalan keluar," kata Tangkai. "Nanti dulu, nanti dulu. Aku hanya bertanya apa yang tadi terjadi. Bukan ingin tahu pendapatmu," kata Kupu-kupu. "Cerewet. Mau dengar nggak?" "Maaf, maaf. Ceritakanlah." "Terus terang aku agak enggan menceritakannya. Masalahnya, aku masih agak terganggu sampai sekarang. Agak sedih malah." "Kok berkomentar lagi..." "Mau dengar nggak?" "Maaf, maaf, teruskan ceritamu." "Mulanya dua lelaki datang dan berteduh di bawah halte sana..." "Menunggu bus? Taksi?" "Mau dengar nggak?" "Maaf." "Dua orang kataku. Dua lelaki. Ayah dan anak." "Kok kamu tahu mereka ayah anak?" Kupu-kupu tak sabar lagi. "Jadi tidak mau mendengar kelanjutannya?" Tangkai jual mahal. "Nanti dulu. Kok kamu tahu mereka ayah anak." "Karena mereka saling memanggil begitu," kata Tangkai mengangkat wajah gembira. "Oohhh..." Kupu-kupu mengibaskan sayapnya dengan tampilan apa boleh buat. "Sudah, teruskan," lanjut Kupu-kupu, ketika menampak Tangkai sesaat mengalihkan perhatiannya kepada Capung yang ingin hinggap di samping Kupu-kupu. "Jangan di sini," kata Tangkai bergoyang. "Ya, jangan di sini!" kata Kupu-kupu menghentakkan sayap. Capung kemudian terbang dengan tak acuh. "Pergi juga tak apa-apa. Di sini nggak ada enaknya," kata Capung. "Sudah, teruskan ceritamu. Jangan pikirkan si Capung," kata Kupu-kupu. "Kuringkas saja," kata Tangkai. "Terserah," kata Kupu-kupu. "Begitulah. Begitulah. Ayah dan anak berteduh di halte sana. Lalu keduanya bertengkar tentang pacar dan ibu tiri. Keduanya tidak saja ribut tapi juga pukul-pukulan. Beberapa pejalan kaki yang berusaha melerai malah ikut terpukul. Akhirnya tak jelas lagi. Ayah dan anak dikeroyok. Bus-bus berhenti. Para penumpang menontoni, tak tak puas, kemudian ikut berkelahi. Polisi datang dan melerai. Tapi kemudian ikut dalam perkelahian. Jalanan benar-benar macet. Para pengasong berubah profesi dari penjaja barang dagangan menjadi penodong. Para penumpang yang ditodong melawan. Para pemilik kendaraan yang mau dirampok melawan. Terjadi baku hantam antarsesama manusia yang berkerubung di depan halte. Polisi semakin banyak berdatangan. Pukul-memukul, lempar-melempar, teriak-meneriak, maki-memaki, tikam-menikam, hingga tembak-menembak, semua berbaur dengan kebuasan manusia-manusia yang sepertinya tadi sengaja meledak atau diledakkan oleh sesuatu. Sementara angin tak henti-hentinya bertiup kencang. Semua tangkai dan ranting-ranting pepohonan bergoyang-goyang gelisah, karena terkena beberapa batu dan peluru nyasar. Bisa kau bayangkan. Bisa kau bayangkan. Sebentar saja korban demi korban berjatuhan. Darah berceceran di mana-mana. Bus dan mobil-mobil remuk terbakar dan ditinggalkan. Mobil ambulans berdatangan dan membawa korban ke rumah sakit. Tapi perkelahian masih berlanjut. Lalu tentara datang. Sebagian peserta keributan berharap segalanya akan diselesaikan dan berakhir tenang. Tapi ternyata semuanya tak bisa menahan diri. Segera bergabung dan mengambil peran sebagai pemukul, penembak, peneriak, penginjak, yang diinjak, yang diteriaki, yang ditembaki. Hinggaaaaa.... Hinggaaa... Hing..." "Hussh! Hussh! Kau... tahan dulu, tahan dulu... Nafasmu nanti habis," kata Kupu-kupu ke arah Tangkai yang kini bergoyang-goyang kepayahan di antara tiupan angin kencang yang tiba-tiba muncul. "Itulah. Itulah ringkasannya... Kejadiannya berjam-jam... Sebelum sesuatu menghentikan semuanya!" kata Tangkai. "Wah, apa dia? Siapa dia? Begitu hebat, mampu menghentikan kekacauan dahsyat itu?" kata Kupu-kupu. "Itulah. Dia tidak begitu hebat. Tak ada yang mengejutkan. Cuma kejadian sederhana," kata Tangkai. "Kejadian sederhana?" Kupu-kupu memandang tak percaya. "Ya." "Apa itu?" "Kedua lelaki, ayah dan anak yang menjadi pangkal keributan itu, sama-sama meninggalkan kerumuman, lalu menaiki sebuah angkot, dan menghilang ke ujung jalan sana..." Kupu-kupu memandang terkesima ke arah ujung jalan sana. "Begitu saja?" tanyanya menoleh ke arah Tangkai. "Iya. Begitu saja. Lalu kau dating, dan masih sempat melihat orang-orang itu sedang bubar," kata Tangkai. "Kukira ada hal yang luar biasa..." kata Kupu-kupu. "Itu masih kurang luar biasa?" tanya Tangkai. "Maksudku, akhir dari kejadiannya, kok biasa saja," kata Kupu-kupu. "Ah, apa aku terbang saja ke tangkai yang lain ya? "Kenapa? Mau mengetahui versi lain?" tanya Tangkai. "Ya dong. Biar informasiku lengkap," kata Kupu-kupu. "Untuk apa? Toh yang kau dengar nantinya akan sama saja. Atau malah kurang seru." "Itu dia. Setiap mata, setiap kepala, setiap hati, setiap penilaian, masing-masing akan terdengar khas, karena bergantung pada situasi dan kondisi yang dialami si pencerita pada saat kejadian tadi..." "Wah, kau seserius." "Aku kan Kupu-kupu pintar." "Terserah kalau begitu." "Yuk. Daaag." "Daag." Tangkai bergoyang. Membiarkan Kupu-kupu menjauh ke arah tangkai sebatang pohon besar lainnya di pinggir jalan itu. Masih cukup dekat dari halte, yang tadi dikatakan Tangkai sebagai tempat kejadian yang baru diceritakannya. Sementara si Tangkai kembali bergoyang. Tak percaya oleh kenyataan, bahwa dia mampu tak menceritakan yang sesungguhnya kepada si Kupu-kupu. Ya, si Kupu-kupu hanya menyukai cerita yang heboh. Padahal terlalu pahit rasanya bagi Tangkai, menceritakan hal sederhana, bagaimana kedua orang itu, ayah dan anak, saling bertengkar dan kemudian berbunuhan di depan orang-orang lalu-lalang yang sebagian tertarik, menonton sejenak, namun sebagian lainnya tak perduli. Sampai ketika kedua orang itu, sudah pingsan berdarah-darah, atau memang sudah mati percuma, seorang pemulung memasukkan keduanya ke dalam gerobak sampahnya. Mungkin pemulung itu akan membuang kedua ayah anak itu, ke pegunungan sampah di ujung jalan sana. Tentu saja, si pemulung akan mengambil dulu barang-barang kedua ayah anak itu, yang masih dapat dimanfaatkannya. Kalau tidak, apa gunanya si pemulung memasukkannya ke gerobak sampahnya, membawanya, dan berbaik hati membuangnya sebagai sampah yang tak berguna lagi? Tapi, apakah si pemulung nanti akan benar-benar akan membuang kedua orang ayah anak itu ke timbunan sampah sana? Mengingat itu, entah kenapa Tangkai merasa sedih dan bergidik. Lunglai.***

No comments:

Post a Comment